[37] Realita Kehidupan

1.2K 152 2
                                    


"Kak Jeff kenapa kesannya maksa aku buat ke Jogja, sih?" Diana akhirnya jengah juga dengan sang Kakak. Pasalnya, dari sejak di kantin tadi sampai kembali ke ruangan, Jeff selalu membicarakan hal yang sama. Padahal dengan dirinya tak menjawab sudah mewakili bahwa ia menolak.

"Lo lebih aman di Jogja, Diana."

"Aku udah nyaman di Jakarta, Kak."

Jeff memejamkan matanya menahan emosi yang sedikit memuncak.

"Bunda itu udah punya keluarga baru, sama seperti Ayah yang nikah lagi. Mereka udah punya kebahagiaan masing-masing. Ujung-ujungnya pasti aku bakal tinggal sendiri. Aku cuma punya Kakak, Kak Jeff tega ninggalin aku sendirian?"

"Aku nggak mau ke Jogja. Aku udah mati-matian nyembuhin luka, jangan paksa aku buat menginjak kota itu lagi." pungkasnya.

Kedua saudara dengan profesi yang sama itu saling berdebat ringan. Jeff tidak bermaksud membuka luka lama, namun, hanya kota kelahirannya itu tempat sang Adik bisa hidup dengan tenang. Ia khawatir dengan orang-orang jahat yang sedang mengintai dirinya. Sementara ia tidak bisa terus terang pada Diana lantaran adiknya mudah terdistraksi, ia tidak mau pekerjaan Diana berantakan karena hal itu.

"Kalo Kak Jeff masih maksa aku ke sana, berarti Kakak udah nggak peduli lagi sama aku."

Jeff diam tak bergeming.

"Aku mau ke klinik." ujar Diana yang menarik tas nya sedikit kasar.

Jeff menahan lengan sang adik. "Jangan pulang ke rumah dulu. Tetap di klinik sampai gue selesai jaga. Nanti gue jemput."

Diana tak menjawab. Ia menarik lengannya dan langsung pergi.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Nares telah kembali ke ruang Bougenville. Ia dibantu oleh kedua perawat untuk mendudukkan dirinya di atas ranjang yang dingin lantaran sempat ditinggal oleh pemiliknya berhari-hari. Seharusnya jadwal kepindahan Nares berlangsung tadi pagi, namun ternyata ada pemeriksaan tambahan yang mengharuskannya untuk menunggu hasil sampai pukul 11.00 WIB.

Dari arah pintu ada sosok Jendral yang berlari dengan napas terengah-engah.

"Suster maaf, saya telat jemput Nares."

"Iya, nggak apa-apa, Mas. Nanti ada dokter visit ke sini. Mas jangan kemana-mana dulu, ya, sebelum ketemu dokternya."

Jendral mengangguk paham. "Baik, Sus. Makasih."

"Sama-sama."

Peluh Jendral membasahi pipinya, ia habis berlari melewati tangga darurat dari ruang rawat Haekal di lantai tiga, lalu naik ke lantai empat untuk menjemput Nares yang ternyata sudah diantar turun ke lantai dua ruang Bougenville. Jendral dibuat olahraga karena tak sabar menunggu lift yang mengantri.

Tentang 7 Anak Bapak [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang