Semilir angin pagi menerpa wajah Bapak bersama ketujuh anak-anaknya di ladang sawah dekat rumah, tepatnya, di rumah orangtua Bapak yang masih asri dengan hijaunya pepohonan. Kilas balik cerita berlatar belakang tahun 2000-an, Bapak duduk di saung memangku tubuh mungil Cendana ditemani secangkir teh serta biskuit Regal kesukaan Bapak.
"Hati-hati, Abang." ujar Bapak saat melihat kaki kecil Bang Jun -anak kedua Bapak- yang hendak melompati kubangan air.
Bang Marko, -anak pertama Bapak- yang sedang menggendong Jaidan berusia 12 bulan tampak telaten memperhatikan adik bungsunya yang asyik mengemut biskuit milik Bapak dengan kedua gigi seri atasnya yang baru tumbuh.
Sementara, anak ke-empat Bapak -Bang Haekal- tengah mengobok-obok senang kubangan lumpur sebelum berlari riang menuju saung sambil membawa sesuatu di tangannya.
Bang Haekal melepas sandalnya, kemudian naik ke atas saung seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi guna memamerkan hasil tangkapannya.
"Abang, Bapak, lihat! Haekal dapat anak ular!" sorakan Bang Haekal kala itu berhasil mengambil alih atensi Bang Nares yang mencari tutut di rumpun padi bersama Bang Jendral.
Cendana, -anak keenam Bapak- yang berada di pangkuan Bapak lantas berbinar seraya mencoba meraih apa yang Abangnya dapatkan.
"Itu belut, Abang, bukan anak ular." sanggah Bapak membetulkan.
"Tapi ini mirip anak ular?" Bang Haekal mengerutkan alisnya bingung.
"Kasih ke Ibu sana, nanti biar digoreng." celetuk Bang Marko. Jaidan yang berada di gendongan Bang Marko ikut menepuk-nepuk senang kedua tangan mungilnya dengan ramai mengundang rasa gemas Bang Marko yang langsung menghujani si Bungsu dengan kecupan di pipi tembam nya.
Di sisi lain, Bang Jun yang sedari tadi mondar-mandir melompati kubangan air, kini terpleset ke lumpur tanah hingga bokong kecilnya mendarat cukup keras. Bapak dan Bang Marko menoleh kaget, sementara adik pertama Bang Marko itu menyengir lebar menampilkan deretan gigi nya seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ndak apa-apa, ndak sakit, ko, Abang, kan, kuat!" tutur Bang Jun seraya menggulung kedua lengan baju pendeknya memamerkan lengan kurus kecil milik Bang Jun.
Bapak serta Bang Marko pun tertawa dibuatnya.
Ibu datang dari arah lain membawa sepiring gorengan berisi bakwan jagung. Bang Jendral, -anak ketiga Bapak- yang melihat itu lantas berlari demi menyantap gorengan tersebut, namun, naas nya, Bang Nares, -anak kelima Bapak- yang tengah berjongkok mencari tutut harus tersungkur ke lumpur sawah karena terdorong oleh kaki panjang milik Bang Jendral.
Ember Bang Nares jatuh mengenaskan ke dalam lumpur, tutut-tutut nya yang sudah ia kumpulkan susah payah pun terjun bebas ke habitat nya lagi.
"Abaaaaaaaang!!!!" pekikan Bang Nares berhasil mengusir burung-burung kecil yang hinggap di pepohonan sekitar sawah. Bang Jendral memasang wajah tersenyum menampilkan mata bulan sabit miliknya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ibu kembali melambaikan tangan dari kejauhan seakan menyuruh putranya yang lain untuk segera menghampiri.
Di saung itu, Bapak tampak asyik menyeruput teh hijau buatan Ibu yang terasa nikmat di suasana pagi hari seperti ini. Biasanya, kalau di kota tempat mereka tinggal, hampir jarang menemukan suasana asri seperti ini, makanya, Bapak sengaja membawa putra-putranya berlibur ke kampung halaman Bapak. Hitung-hitung, quality time sebelum Bapak kembali dinas ke luar daerah meninggalkan Ibu serta ketujuh putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang 7 Anak Bapak [Sudah Terbit]
Hayran Kurgu[Buku tersedia di shopee Galeriteorikata, Chocovan, dan Sale Novel] Kata Bang Marko, jadi anak bungsu di keluarga Bapak Winarto dan Ibu Winarti adalah salah satu keinginan terbesar para abang. Maka dari itu, Jaidan selaku anak bungsu disuruh banyak...