[17] Sebuah ending

2.7K 362 44
                                    

Scroll nya pelan-pelan aja ya, soalnya sedikiiit.

Happy reading! ^_^

Happy reading! ^_^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jaidan.."

Lirih bisikan terdengar begitu nyata, aliran darah dalam tubuhnya seakan berhenti ketika sosok Bang Marko menampakkan diri dengan raut wajah paling menyedihkan yang pernah ia lihat semasa hidup sang Abang tertuanya.

Di sisi kanan Bang Marko ada sosok Bang Haekal yang menatap ke arahnya dengan tangisan paling menyayat hati.

"Jaidan, maaf, Abang mau menyusul Ibu, Bapak sama Bang Marko."

🥀

Cetasss!!

Kilat petir membuat sosok bungsu terbangun dari tidur malam. Jantungnya berdetak tak karuan dengan napas yang berburu layaknya kehabisan pasokan oksigen.

Udara dingin merambat dari ujung jari-jari kaki hingga ujung kepala. Bibirnya pucat pasi dengan mata memerah yang dipaksa terbuka.

Sosok itu berada di bawah kondisi lampu ruangan yang gelap gulita, kipas angin di dinding juga mati, namun hawa dinginnya terasa menusuk kulit karena hujan angin di luar rumah.

Jaidan, Cendana, Bang Jun serta Bang Nares tertidur di ruang tamu, padahal niat mereka ingin menunggu Bang Jendral sampai pulang ke rumah. Si Bungsu mengedarkan pandangannya di tengah kegelapan, hanya mengandalkan indera peraba ia memastikan bahwa penghuni rumah baik-baik saja. Terlebih, deru napas teratur terdengar, lantas ia mampu bernapas lega karena ketiga Abangnya tertidur pulas.

Di samping itu semua, Jaidan merasakan hangatnya genggaman tangan yang tidak tau sejak kapan mulai bertaut dengan Cendana. Mungkin Cendana sedang merasa ketakutan. Pikirnya. Maka dari itu ia biarkan saja.

Namun pikirannya lama-lama tertepis setelah mengetahui bahwa ternyata Bang Jun dan Bang Nares juga saling menggenggam erat dalam keadaan tertidur. Jaidan tidak tau ada apa, tapi hal yang jarang dilakukan ini justru membuatnya ketakutan.

Sekelebat mimpi yang belum hilang dari bayangan tiba-tiba saja mengusik kembali pikiran Jaidan.

Baru kali ini Jaidan diselimuti dengan rasa takut yang amat berlebihan. Mimpi itu memukul telak perasaan Jaidan, menghantam kuat pada bagian relung hati paling dalam, luka baru nya timbul lagi bahkan disaat luka lain masih terasa basah.

Bayangan dalam pikiran mengambil alih atensi Jaidan, ia satu-satunya yang terjaga dari tidur, tapi ia tidak sadar jika lampu gantung dalam ruangan mulai bergoyang. Suara barang-barang jatuh terdengar riuh, pecahan dari bingkai foto keluarga pun ikut jatuh ke lantai.

Tentang 7 Anak Bapak [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang