Chapter 03

7.2K 305 2
                                    

-Vote komen dan follow
Instagram : @ffyah18___
Tiktok : @Wattpadpi

.
.
.
.
.

Memegangi kedua tangan putra dan putrinya dengan perasaan was-was dan tak tenang, Laksita terua berdzikir agar suaminya itu tidak terjadi apa-apa. Abdullah dilarikan ke rumah sakit dengan dibantu oleh ketiga Gus ini saat itu juga.

Fatimah dan adiknya Idris itu tak henti-hentinya menangis saat Ayahnya tak sadarkan diri, sebab saat tadi siang Abdullah sehat-sehat saja, mereka menyenderkan kepalanya pada bahu sang Ibu.

Bukan hanya mereka yang merasakan kesedihan, ketiga Gus bahkan para santri dan pengurus pondok juga merasa sedih dan mereka terus berdo'a untuk Abdullah.

"Dengan keluarga pasien Abdullah?"

Suara itu berasal dari arah pintu yang baru saja terbuka itu, sontak ketiga orang yang tengah duduk itu menghampiri.

"Iya, Dok. Bagaimana keadaan suami saya?" tanya Laksita, perempuan itu menuntun kedua anaknya.

"Silahkan masuk, Bu. Suami anda ingin berbicara." ucap Dokter tersebut, membuat ketiga orang itu langsung masuk.

Sedangkan ketiga Gus ini hanya terdiam diluar, sebab Dokter hanya mengizinkan tiga orang saja.

Sesampainya didalam sana, mereka langsung menghampiri Abdullah yang tengah terbaring diatas ranjang rumah sakit itu, mereka memeluk Abdullah.

"Alhamdulillah, Abi sudah sadar." ucap Laksita tersenyum saat melihat suaminya sudah membuka matanya kembali.

Abdullah tersenyum dan mengelus lembut ujung kepala putra-putrinya itu.

"Abi ingin berbicara sama Fatimah,"

Mereka melepaskan pelukannya, lalu menatap sang Ayah sembari menghapus air matanya. "Abi mau ngomong apa? Ngomong aja." ucap Fatimah.

"Kamu terima perjodohan ini, ya, Nak? Abi ingin yang terbaik untuk kamu, Sayang."

Fatimah tertegun, mencerna ucapan sang Ayah. Sampai beberapa detik kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Fatimah terima, tapi Abi harus sembuh."

Mendengar ucapan sang putri, Abdullah dan Laksita tersenyum. Jawaban ini yang mereka tunggu-tunggu. "Diluar ada siapa?" tanya Abdullah menatap arah pintu.

"Diluar ada Gus Ali, Gus Adam dan Gus Abinaf, Abi." jawab Idris.

"Tolong panggilkan Ali, ya, Nak. Abi ingin berbicara sama Gus Ali."

Idris tersenyum, lalu mengangguk dan segera memanggil Ali. Setelah itu Ali masuk dan menghampiri. Ali mencium punggung tangan sang Kyai sembari tersenyum.

Abdullah pun tersenyum. "Kyai ingin bicara sama kamu, Ali."

"Bicara saja, Kyai."

"Kyai ingin menitipkan Fatimah sama kamu, Ali. Fatimah sudah setuju dengan perjodohan ini."

Ali sesekali menatap Fatimah dan kembali menatap Abdullah. "Ali-"

"Tolong, ya. Jika sudah menikah nanti, kamu didik Fatimah menjadi wanita yang Kyai inginkan, kamu juga harus sabar dengan sifat Fatimah."

Ali mengangguk.

Lalu Abdullah beralih menatap sang putri dan meraih tangannya. "Sayang, terima kasih ya, sudah mau menerima perjodohan ini. Abi harap, kamu menerima dengan ikhlas bukan karna terpaksa."

Perempuan berhijab hitam itu mengangguk.

"Jika sudah menikah nanti, kamu harus menurut sama Ali, kamu harus mendengarkan apa kata Ali, kamu harus mencintai Ali."

"Ali, kamu akan menjadi pengganti Kyai. Kamu harus menjaga putri Kyai dengan sepenuh hati."

"InsyaAllah, Kyai."

Lalu lelaki paruh baya itu beralih pada sang putra dan istrinya yang berada disisi kanan. "Idris, kamu belajar yang rajin, teruslah belajar agama sampai kamu paham. Hafalkan Al-Qur'an, nurut sama Ummi."

Idris mengangguk.

"Dan Ummi, terima kasih sudah menemani Abi sampai sekarang, Abi harap Ummi ikhlas jika Abi pulang lebih dulu."

Saat suaminya mengatakan itu, sontak Laksita menggeleng. "Nggak, Abi. Abi harus sembuh, Abi akan kembali sehat."

"Iya, Abi. Abi akan hadir, kan, dipernikahan Fatimah nanti." ujar Fatimah.

"Maaf, Sayang, jika Abi tidak bisa hadir dipernikahan kamu nanti."

"Nggak Abi!"

"Abi pulang ya, kalian jaga diri baik-baik." ucap Abdullah tersenyum, namun senyuman itu membuat mereka menangis. "Kyai titipkan pesantren pada kamu, Ali."

"ABI!" teriak Fatimah dan Laksita saat melihat Abdullah menutup matanya saat itu juga sembari tersenyum.

Dengam segera Ali mendekat dan memegang urat nadi yang berada ditangan Abdullah. Saat merasa tak ada yang berdetak, Ali menghela nafasnya. "Innalilahi wa'inna illahi roji'un."

Saat itu juga tangisan dan teriakan terdengar dari ruangan ini.

•••••••••••••

Saat mendapat kabar jika sang Kyai telah berpulang, semua santri beserta pengurus pondok menangis merasa kehilangan. Setelah dari rumah sakit, Abdullah dibawa ke rumah untuk dimandikan, setelah itu para santri mengaji, dan besok pagi akan diantar ke tempat terakhirnya.

Kerabat dan para ulama pun hadir saat malam itu juga saat mendapat kabar jika Abdullah telah berpulang, mereka juga ikut mengaji bersama.

Sedangkan Fatimah hanya bisa menangis tak bisa berbuat apa-apa.

"Fatimah menyesal tidak belajar mengaji, sekarang Fatimah tidak bisa ikut mengaji untuk Abi." ucapnya sembari menyenderkan kepalanya pada tembok sembari melihat orang-orang yang mengaji.

Saat hari sudah mulai berganti, kini Abdullah sudah dimasukan ke dalam liang lahat, dimana disana tempat peristirahatan terakhirnya.

"Mau sebesar apapun, semewah apapun rumah kalian, tempat peristirahatan kalian hanyalah kuburan." ucap Kyai Ja'far kerabat Abdullah saat baru saja mendo'akan Abdullah, adalah Ayah dari Ali.

Sedangkan Fatimah dan Idris menatap ke arah kuburan sang Ayah yang sudah ditaburi bunga-bunga itu.

Ibunda Ali yang bernama Maryam itu mencoba menenangkan Laksita yang hampir akan pingsan itu. "Ikhlas ya, Ummi. InsyaAllah Kyai Abdullah ditempatkan disisi Allah." ucapnya sembari mengelus punggung Laksita.

"Sabar, Ning. Ta'bah dan Ikhlas, Ning. InsyaAllah Kyai sudah berada disisi Allah." ucap Ali pada Fatimah.

Saat melihat itu, Ning Fara menatap dengan tatapan tak rela.

.
.
.
.

#ToBeContinued

IMAMKU GUS PONDOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang