Chapter 22

5.2K 203 2
                                    

Minggu demi minggu berlalu, kehidupan pondok pesantren Al-mubarak berjalan seperti biasanya, sama juga halnya dengan kedua pasutri ini yang sama sekali belum mendapat ujian rumah tangga sebab umurnya baru setipis tisu.

Ali yang tengah sibuk bersiap-siap akan pergi ke pondok pesantren milik Ja'far ini tengah bercermin sembari memakai peci putihnya. Hari ini, Ali disuruh oleh Paman Sulaiman untuk datang karna akan membagikan warisan.

"Kamu beneran nggak mau ikut?" tanya Ali menghampiri Fatimah yang masih merebahkan tubuhnya diatas kasur dengan selimut yang menutupi tubuhnya, Ali duduk.

Fatimah menggeleng. "Nggak, Mas. Aku capek, mau tidur aja."

"Nggak enak badan atau gimana?"

"Nggak papa, Mas. Gih berangkat, orang-orang pasti udah nungguin disana."

"Iya. Mas juga nggak lama-lama, sebentar lagi kan Mas mau ngajar." Ali mengelus lembut rambut hitam milik istrinya.

"Aku nitip, boleh?"

"Boleh. Nitip apa?"

"Aku mau rujak tapi isinya mangga muda, jambu muda, timun muda, pokoknya buahnya itu muda semua."

Mendengar permintaan istrinya, Ali mengerutkan keningnya bingung. "Jambu muda yang kamu maksud itu gimana? Emang ada? Timun muda juga, emang ada? Setau Mas cuman ada mangga muda aja."

"Bilang aja sama penjualnya, timun sebelum jadi tua kan muda dulu."

"Tapi kalo nggak ada, gimana?"

"Beli seblak, jangan pake sayuran, jangan pake kerupuk, pake topingnya aja. Pedesnya level lima, kalo bisa paling tinggi."

Lagi lagi Ali mengerutkan keningnya bingung, ia benar-benar sulit mencerna ucapan istrinya yang meminta permintaan seperti ini.

"Yaudah, Mas berangkat, ya." Ali beranjak dari duduknya. Lalu menyodorkan tangannya pada sang istri untuk disalimi.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam, Fii amanilah."

"Ma'assalamah" ucap Ali tersenyum.

•••••••••••

"Assalamualaikum," Laskita masuk ke dalam kamar dan menghampiri Fatimah yang tengah merebahkan tubuhnya diatas kasur, dengan rambut yang terurai dan masih memakai baju piyama.

"Wa'alaikumsalam."

Laksita duduk dipinggiran kasur. "Fatimah, barusan suami kamu mau ke rumah orangtuanya, kok kamu nggak ikut?"

"Males, pasti mereka bahas warisan." ucap Fatimah mengubah posisinya menjadi duduk.

"Kalian belum makan, kan? Pagi tadi juga kamu nggak masak, kenapa? Nggak enak badan?"

"Nggak, kok."

"Fatimah mau nanya sama Ummi."

"Nanya apa?"

"Ciri-ciri perempuan hamil itu, gimana?" tanya Fatimah, membuat sang Ibu tersenyum dan membulatkan kedua matanya.

"Kamu hamil?" tanyanya penuh harap.

"Nggak, Ummi. Cuman nanya aja."

"Ciri-cirinya, perempuan lebih sensitif. Mulai dari hidung yang nggak nerima bau-bau yang biasa kita cium, perasaannya mual-mual, selalu pusing, dan biasanya gampang nangis."

IMAMKU GUS PONDOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang