Chapter 04

6.6K 273 1
                                    

-Vote komen dan follow
Instagram : @ffyah18___
Tiktok : @Wattpadpi


.
.
.

“Harus berapa banyak lagi Hadist, harus berapa banyak lagi ayat Al-Qur'an untuk menyandarkanmu bahwa pacaran itu haram.”

-Sayyid Hussein Alatas-

.
.

Hari berikutnya setelah kepergian Kyai Abdullah kesedihan masih menyelimuti keluarga dan para santri-santri. Fatimah yang kini lebih sering merenung dan tak ingin makan itu membuatnya melemas, bahkan wajahnya pun pucat. Ia tak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan mendoakan sang Ayah.

Kali ini ia benar-benar telah menyesal karna tak mendengarkan nasihat-nasihat Ayahnya dulu. Kalo saja ia tahu Ayahnya akan meninggal, mungkin ia akan menuruti apa maunya, termasuk menikah dengan Ali. Walaupun sang Ayah sudah tiada, ia akan menerima perjodohan ini, sebab ia akan mengubah dirinya dan menjadi wanita yang Abdullah inginkan lewat suaminya nanti.

Tok... Tok...

"Sayang, ayo makan. Dari kemarin kamu gak mau makan." ucap Laksita dari balik pintu kamar Fatimah.

Fatimah yang masih duduk dipinggiran kasur sembari merenung pun tak menjawab, membuat Laksita membuka pintunya dan masuk menghampiri sang putri.

Ia menatap sang putri yang tengah termenung itu sembari tertegun, ia juga masih rapuh, namun ia harus tetap tegar didepan anak-anaknya. Ia duduk disamping Fatimah, lalu meraih tangannya. "Sayang, kenapa melamun?"

Dengan tatapan kosong itu Fatimah menoleh, raut wajahnya datar, matanya sayu dan pucat. Fatimah menyenderkan kepalanya pada bahu sang Ibu. "Ummi, wajar kalo Fatimah masih memikirkan Abi?"

Laksita mencoba untuk kuat saat putrinya itu mengatakan itu, air matanya yang akan jatuh itu mencoba ia tahan agar tidak jatuh dan suasananya malah jadi semakin sedih.

"Wajar. Tapi, secukupnya saja, ya."

"Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya seorang mayit akan diadzab dikarenakan tangisan dari keluarganya kepadanya. (HR, abu dawud no 3131."

"Kamu mau Abi tenang, kan, Sayang?"

Fatimah yang masih menyenderkan kepalanya itu mengangguk.

"Sekarang, kamu cukup menjalani perintah yang Abi pesan, supaya Abi bahagia melihat kamu dari atas sana."

••••••••••••

"Bagaimana keadaan disana, Ali?" tanya Maryam pada sang putra, ketiga orang ini tengah berada dimeja makan untuk sarapan pagi.

Oh, ya. Ali adalah putra semata wayang Kyai Ja'far Shidiq, pemilik pesantren Darul Mustofa.

Mengapa Ali mengajar dipondok milik Abdullah? Sebab Abdullah ingin Ali mengenal Fatimah sebelum mereka menikah nanti. Ali kini tengah pulang, sebab dipondok Al-mubarak tengah libur mengajar beberapa hari nanti.

"Masih diselimuti dengan kesedihan, Bunda." jawab Ali, lelaki itu menuangkan air ke dalam gelas.

"Bagaimana tentang perjodohan kamu dengan Fatimah?" tanya Maryam lagi.

"Bunda, mereka masih diselimuti kesedihan, jangan membahas ini dulu." ujar Ja'far yang tengah makan itu.

"Bunda hanya bertanya, Ayah."

Ali tersenyum. "Sebelum Kyai Abdullah pergi, beliau menitip pesan, jika Fatimah harus menikah dengan Ali."

Mendengar itu, Maryam antusias. "Lalu, Fatimah menerima?"

Ali mengangguk. "Fatimah menerima,"

"Alhamdulillah." ucap Maryam, perempuan ini memang sangat antusias untuk menjodohkan putranya pada Fatimah, sebab Fatimah cantik dan waktu kecil sering ia asuh.

"Ali tidak tahu sekarang, Bunda. Mungkin Fatimah berubah pikiran."

"Jangan sampai,"

•••••••••••••

Tiga minggu setelah itu, kini kesedihan pun mulai mereda, semua santri dan para pengurus pondok melakukan aktivitasnya seperti biasa.


Sama halnya dengan Fatimah yang kini sudah mau belajar membaca Al-Qur'an. Ia juga meminta pernikahan ia dengan Ali dipercepat setelah kemarin membahas dengan keluarga kedua belah pihak. Fatimah ingin mempercepat sebab ia ingin belajar melalui Ali nanti, ia tak ingin belajar melalui Ning Fara maupun Ning Naya, sebab ia malu.

Dan InsyaAllah pernikahan Ali dan Fatimah akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Acaranya juga tidak akan besar besaran, sebab Fatimah tidak mau, untuk apa merayakan pernikahan besar besaran sedangkan Ayahnya saja tidak ada, tidak ada yang bermakna.

Saat mendengar kabar jika Ali melamar Fatimah, semua santri tak percaya, termasuk kedua Gus ini yang sudah berpasrah tidak akan bisa mendapatkan Fatimah. Bahkan, Ning Fara yang memang ada benih-benih cinta pada Gus Ali, merasa sakit sendiri.

Sore ini Fatimah tengah belajar mengaji didalam kamar bersama adiknya itu. Bukan kakak yang mengajari adik, tapi adik yang mengajari kakak.

"Kalo nanti kakak sudah menikah dengan Gus Ali, kakak nggak akan menyusahkan kamu untuk mengajari kakak ngaji lagi." ucap Fatimah.

"Kak, kakak kan kakak aku, aku nggak merasa kesusahan, malah aku senang bisa mengajari kakak ngaji."

"Aku anak laki-laki, aku pengganti Abi. Aku harus jagain Ummi sama Kakak."

"Setelah kakak menikah dengan Gus Ali, aku minta kakak jangan pindah, ya? Kalo kakak pindah, Ummi cuman ada aku."

Fatimah tersenyum, lalu mengangguk.

"Iya, kalo nantinya Gus Ali mengajak kakak pindah, kakak juga tidak bisa apa-apa, kakak harus mengikuti suami kakak. Tapi, kakak akan ngomong."

"Iya, terima kasih, kak."

.
.
.
.

#ToBeContinued

IMAMKU GUS PONDOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang