Chapter 13

5.8K 235 1
                                    

Sebelum membaca, alangkah baiknya follow akun Author terlebih dahulu. Instagram : @ffyah18___
Tiktok : @Wattpadpi_

.
.
.

"Happy reading"

.....

"Assalamu'alaikum, Bunda..."

"Wa'alaikumsalam. Eh, kalian kesini, Nak."

Kedua pasutri yang baru saja datang itu mencium punggung tangan Maryam yang tengah menyapur halaman rumah. Sedangkan Ja'far, ia tengah berada di dalam rumah, tengah istirahat sebab tadi pagi sempat tak enak badan.

Maryam kemudian memeluk sang menantu. "MasyaAllah, menantu Bunda tambah cantik aja."

Fatimah tersenyum. "Bunda bisa aja."

"Gimana, Sayang. Masih belum ngisi?"

Fatimah menatap Ali yang juga menatapnya, lalu tersenyum tipis dan menggeleng. "Belum Bunda."

"Mungkin belum rezeki, semoga saja secepatnya ya, Allah kasih amanah buat kalian."

••••••••••••

"Assalamu'alaikum," Ali dan Fatimah masuk ke dalam kamar milik Ja'far dan melihat sang Ayah yang tengah merebahkan tubuhnya diatas kasur itu.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Ja'far menoleh.

Mereka menghampiri, lalu mencium punggung tangannya. "Ayah sakit?"

"Nggak, cuman nggak enak badan saja." lelaki paruh baya itu kemudian mengubah posisinya menjadi duduk.

"MasyaAllah, gimana, Nak? Sudah ada hilal Ayah akan punya cucu?"

"Belum Ayah."

"Nggak papa, mungkin belum rezeki, ya. Semoga saja secepatnya Allah kasih."

"Aamiin." ucap Ali membuat Fatimah menatapnya dengan tatapan yang merasa bersalah.

"Assalamu'alaikum. Sayang, minumnya udah Bunda buatkan, ada dimeja ruang tengah." ucap Maryam yang terus masuk ke dalam kamar dan menghampiri.

Keduanya menoleh. "Iya, Bunda. Terima kasih." ucap Fatimah tersenyum.

"Kalo kalian mau makan, makanannya juga sudah Bunda siapkan dimeja makan." perempuan paruh baya itu meraih pundak Fatimah yang tengah duduk dikursi.

"Merepotkan Bunda saja." ucap Fatimah.

"Loh, nggak papa. Kalo untuk menantu Bunda, apa sih yang nggak." ucap Maryam membuat orang-orang disana terkekeh.

Dulu, Maryam memang sangat menginginkan anak perempuan, tetapi Allah berkehendak lain, hanya laki-laki yang didapatnya, bahkan hanya satu orang putra.

"Aku permisi ke toilet sebentar, ya."

"Mau mas antar?"

"Nggak usah, biar sendiri aja."

Fatimah beranjak dari duduknya. "Permisi ya, Bunda, Ayah."

"Iya, Nak."

Kemudian Fatimah pun keluar dari ruangan tersebut, saat Fatimah keluar, Ali menatap Maryam yang terus duduk dikursi bekas Fatimah duduk tadi.

"Bunda, Ayah." Ali menatap satu persatu orangtuanya, membuat keduanya juga menatap Ali.

"Kenapa, Nak?"

"Ali minta, Bunda sama Ayah jangan bertanya seperti tadi lagi, ya." ucap Ali membuat Maryam mengerutkan keningnya.

"Bertanya seperti apa, Ali?"

"Soal cucu. Bukan apa-apa, Ali cuman nggak mau gara-gara Bunda sama Ayah bertanya soal cucu, Fatimah jadi tersinggung. Kita kan tidak tahu perasaan setiap orang."

Maryam dan Ja'far tersenyum. "Iya, Sayang. Kita paham, kok. Maaf ya, kalo pertanyaan kita buat istri kamu tersinggung. Kita nggak bermaksud." ucap Maryam meraih tangan Ali.

"Iya, Ayah juga minta maaf."

Ali tersenyum dan mengangguk.

•••••••••••••

"Huh!"

Fatimah yang baru saja keluar dari kamar mandi itu memegang pinggiran wastafel dan melihat pantulan dirinya dicermin. "Nggak jauh-jauh dari pertanyaan tadi."

"Gimana mau hamil, kita aja nggak pernah ngelakuin hubungan suami-istri." ucapnya pada diri sendiri.

Perempuan ini benar-benar bingung saat pertanyaan seperti tadi itu dilontarkan oleh orang-orang padanya. Bukan hanya mertuanya, Ning pun selalu bertanya pada Fatimah jika tak sengaja berpapasan. Pertama, ia belum siap, kedua, takut. Takut apa? Takut dipoligami, setelah ia hamil lalu mempunyai anak, ia benar-benar takut jika suaminya itu akan mempoligami dirinya, sebab ia selalu mendengar jika lelaki paham agama itu lebih banyak yang berpoligami.

"Gue harus apa?"

"Harus ngelakuin anu sama dia? Aish, gue takut, gue belum siap, gue nggak cinta sama dia. Walaupun ada sedikit-sedikit, tapi tetap saja belum banyak."

Tok... Tok...

Saat tengah berbicara dengan diri sendiri melalui cermin, tiba-tiba pintu kamar mandi berbunyi dan sontak Fatimah langsung keluar. Ia bersiri disana saat melihat suaminya yang mengetuk pintu. "Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, cuman takut kamu kenapa napa, soalnya lama banget dikamar mandi."

"Lebay," ucap Fatimah yang terus berjalan menuju ruang tengah dan diikuti oleh Ali. Kemudian perempuan itu duduk diatas sofa, begitupun Ali.

"Kamu kenapa?" tanya Ali saat melihat wajah istrinya itu seperti tak biasa.

"Bingung," sahutnya.

"Bingung kenapa?"

"Nggak tahu." Fatimah mengedikan bahunya. "Mas ada rencana mau poligami, nggak?" tanya Fatimah menatap Ali.

Ali yang tak paham pun mengerutkan keningnya heran. "Maksudnya?"

"Ada rencana mau poligami?"

"Nggak." jawab Ali dengan segera.

"Kenapa? Aku butuh teman loh, Mas." ucap Fatimah mulai memancing suaminya.

Ali yang menatap Fatimah pun tetap menggeleng. "Nggak. Kamu saja belum mencintai Mas, masa mau poligami?"

"Siapa tahu Mas mau nikah lagi sama perempuan yang mencintai Mas."

"Nggak akan. Kamu juga nanti akan mencintai Mas."

Fatimah menaikan kedua halisnya dan tersenyum. "Emang iya?"

"Hm."

"Kalo aku nggak bisa mencintai Mas, gimana?"

"Pasti bisa, kok. Yakin aja."

.
.
.
.
.

#ToBeContinued

IMAMKU GUS PONDOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang