"Satu tetes air mata wanita adalah seribu dosa bagi laki-laki."
-Ali Shawqi Rayyan
.
.
.
."Mata itu..."
"Wa'alaikumsalam." jawab perempuan itu membuat Ali segera menundukan pandangannya.
Fatimah yang menyadari gelagat Ali yang aneh ini mengerutkan keningnya keheranan.
"Kamu Syifa?" tanya Ali dan dibalas anggukan oleh perempuan bercadar itu.
"Afwan, kemarin saya baru mendapatkan kabar jika Kyai Ja'far dan Bu Nyai meninggal dunia."
Ali mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. "Terima kasih karna sudah menyempatkan untuk datang ke pemakaman orangtua saya."
"Saya pasti akan selalu datang kesini untuk menjenguk mereka. Karna, mereka sudah banyak sekali memberikan ilmu-ilmu pada saya, walaupun saya sudah berhenti menjadi santri pondok itu beberapa bulan yang lalu, tapi ilmu yang sudah beliau berikan akan saya amalkan."
"Terima kasih,"
Fatimah yang melihat itu, sudah mengira bahwa perempuan bercadar itu adalah perempuan yang Ali maksud dalam diarynya, apalagi perempuan ini tadi sempat bilang bahwa dirinya berhenti beberapa bulan lalu dari pondok.
"Mohon maaf atas kesalahan-kesalahan yang sudah orangtua saya buat pada kamu atau sempat menyakiti hati kamu,"
"Tidak ada, sama sekali tidak ada. Justru saya berterima kasih kepada kedua orangtua Gus karna sudah memberikan banyak sekali ilmu pada saya dan mengajarkan saya untuk menjadi lebih baik."
Melihat suaminya yang asik mengobrol dengan perempuan itu, lebih baik Fatimah pergi saja, daripada ia harus terbakar api cemburu. Ali yang melihat itu pun sudah menebak bahwa istrinya itu cemburu.
"Kalau begitu, saya duluan, Gus. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,"
Saat perempuan itu pergi, Ali segera menyusul istrinya yang masuk ke dalam mobil itu, untuk mencoba menjelaskan padanya.
"Maaf," Ali meraih pergelangan tangan Fatimah yang menunduk itu.
Fatimah menatap Ali, lalu melepaskan tangannya. "Maaf untuk apa? Mas ngerasa salah, ya?"
"Mas tau kamu cemburu,"
"Nggak." Fatimah terkekeh. "Tapi, aku sudah menebak kalo perasaan Mas pasti muncul lagi, kan? Aku tau perempuan yang dimaksud diary Mas itu dia, kan?"
"Iya. Tapi, perasaan Mas biasa saja."
"Bohong. Kalo biasa saja, kenapa saat perempuan itu menoleh Mas menatap matanya? Dan Mas asik ngobrol sama dia tanpa menghiraukan aku yang ada disamping Mas."
"Bukan gitu," Ali kembali meraih pergelangan tangan Fatimah, namun lagi lagi Fatimah menepisnya dengan wajah yang menatap pada arah kaca.
"Sayang, kita kesini buat ziarah, buat do'ain Ayah sama Bunda. Kenapa kamu malah marah-marah?"
"Salah siapa? Salah Mas nggak menghargai aku didepan perempuan sempurna itu." ucap Fatimah menekan kata-katanya membuat Ali hanya bisa terdiam.
Hanya gara-gara perempuan tadi, Fatimah menjadi sangat badmood, untungnya ini akan berziarah, jika bukan, mungkin ia sudah pulang sendiri sedari tadi. Ia turun dari mobil dan menuju makan tadi, sedang Ali, yang masih berada didalam mobil itu hanya menghela nafasnya sembari menatap istrinya dari kaca mobil beberapa detik sebelum ia menyusul.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAMKU GUS PONDOK
Spiritual"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan sajadah?" Berawal dari Ayahnya yang tiba-tiba meninggal dan menitipkan pesan agar ia menikah dengan l...