Malam pun tiba, perempuan dengan baju piyamanya ini tengah duduk dipinggiran kasur sembari menggigit kukunya resah, entah apa yang dipikirkan nya sehingga membuatnya resah.
Ali yang baru saja masuk ke dalam kamar setelah dari masjid sholat isya berjamaah disana, Ali menatap Fatimah heran, lalu menghampiri dan duduk disampingnya.
"Assalamu'alaikum."
Sontak Fatimah langsung menoleh ke arah Ali. "W-wa'alaikumsalam."
"Ning sudah sholat isya?"
"Sudah."
"Sekarang Ning belajar mengaji, ya?"
"Iya, Gus." Fatimah mengangguk dengan perasaan yang masih resah, hal itu membuat Ali sedikit bingung dibuatnya.
Ali mengerutkan keningnya sembari menaikan kedua halisnya. "Ning kenapa?"
"Gus, bulan ini, saya telat haid. Yang harusnya minggu kemarin, sampai sekarang belum haid. Apa saya hamil, Gus?"
Pertanyaan yang Fatimah lontarkan membuat Ali sedikit terkejut, heran dan was-was. Bisa-bisanya, ia belum mencoba istrinya, masa istrinya sudah hamil saja? Anak siapa.
"Astagfirullahal'adzim, Ning." Ali memegangi dadanya. "Ning hamil anak siapa?"
Fatimah mengedikan bahunya. "Nggak tahu, Gus."
"Ning pernah melakukan itu, sama siapa?"
"Ngelakuin apa?"
"Ya itu, ngelakuin yang bisa membuat Ning hamil."
Fatimah menepis tangan Ali. "Enak saja, saya nggak pernah melakukan itu, Gus. Keluar rumah saja saya jarang, mana bisa melakukan itu. Itu dosa besar, walaupun saya bukan perempuan baik-baik, tapi nggak semurah itu."
"Terus? Ning kenapa hamil?"
"Nggak tahu, Gus. Saya telat seminggu, bisa jadi hamil, kan? Hamil sama jin?"
"Na'udzubillah." ucap Ali yang terus terkekeh pelan, ucapan istrinya ini membuat Ali keheranan. "Ning, kalo Ning nggak melakukan, mana bisa Ning hamil."
"Kalo hamil sama jin, gimana?!"
"Ning, hamil sama jin itu nggak ada. Kalo emang telat haid, mungkin dari sananya aja."
"Saya terkejut loh, saya kira Ning hamil anak orang lain. Saya aja belum melakukan itu sama Ning, masa Ning sudah hamil. Ada-ada saja."
Fatimah menggaruk kepalanya bingung. "Kapan saya haid, Gus."
"Nggak tahu, Ning. Jangan tanya sama saya, bukan saya yang menentukan tanggal haid Ning. Mending sekarang Ning belajar mengaji saja."
...
"Jadi, kalo anak fatah lurus kaya gini, dibacanya panjang. Misalnya Qa, jadi Qaaaa...."
Fatimah mengangguk anggukan kepalanya paham setelah suaminya itu mengajarinya. Dulu, Fatimah sudah khatam iqra', namun itu beberapa tahun yang lalu, jadi ia sudah lupa.
Terkadang, anak seorang yang paham agama, ada yang lebih buruk dari kita.
Setelah hampir satu jam belajar mengaji, Fatimah menutup mushaf Al-Qur'annya menandakan ia sudah selesai belajar.
"Sudah malam, lebih baik Ning tidur." Ali menoleh ke arah jam dinding, lalu kembali menatap istrinya. "Saya juga mau sholat tahajjud nanti pagi."
"Saya juga mau, Gus. Bangunin saya, ya?"
"Memangnya mau sholat?"
"Iya, mau belajar. Nanti, do'anya juga ajarin sama Gus."
Ali mengangguk sembari tersenyum. "Iya, saya ajarin."
"Maaf, ya. Saya sudah menyusahkan Gus Ali, apa-apa minta diajarin, memang bodoh banget saya ini." perempuan ini menunduk merasa malu, namun Ali menarik dagunya agar kembali menatapnya.
"Ning, saya nggak pernah merasa Ning menyusahkan saya. Justru saya senang bisa mengajarkan istri saya. Saya nggak terlalu menginginkan istri yang memang sudah paham dalam agama, karna ilmu saya jadi nggak kepake buat ajarin istrinya karna dia sudah mengerti."
"Tapi, Gus. Gus punya batas kesabaran juga, lama-lama Gus juga akan bosan mengajari saya."
"Nggak. Saya berjanji, saya akan terus mengajari Ning. Saya akan membawa Ning ke dalam surganya Allah, karna saya sebagai suami, memang sudah berkewajiban mengajari istri dana anaknya. Saya belajar agama untuk apa jika bukan untuk membimbing istri dan anak saya agar bisa masuk ke dalam surga?"
Fatimah tersenyum. "Terima kasih, Gus." ucapnya terlihat kagum dengan suaminya. "Mau punya anak berapa, btw?"
"Dua cukup?" tanya Fatimah menaikan kedua halisnya.
"Udah bela-belain saya belajar kitab fathul qorib, fathul mu'in, fathun wahab. Terus, Ning bilang dua anak cukup?"
"Emang itu kitab apa?"
"Bukan apa-apa, nggak perlu tau."
Fatimah hanya mengangguk anggukan kepalanya. "Tapi, saya nggak bisa ngelakuin hubungan suami-istri sekarang, Gus. Nggak papa, kan?"
Ali tersenyum dan mengangguk. "Nggak papa, Ning. Kalo memang belum siap, siapin saja dulu. Saya nggak mau paksa istri saya untuk melakukan hubungan itu."
•••••••••••
Pagi ini yang Ali lakukan adalah bersiap-siap untuk pergi mengajar, walaupun jaraknya dekat, tapi ia juga harus berpakaian rapi. Fatimah menyiapkan baju suaminya saat suaminya itu sedang mandi, setelah itu ia mengambilkan makanan untuk suaminya.
Setelah itu kembali ke kamar dan melihat suaminya yang sudah siap.
"Makan dulu, Gus." Fatimah meletakkan piring yang berisi nasi goreng itu diatas meja.
"Kenapa diambilin? Kan saya bisa makan disana bareng Ummi sama Idris juga." ucap Ali menatap istrinya yang terus duduk dipinggiran kasur.
"Nggak papa, takutnya Gus malu kalo nggak sama saya."
"Memangnya Ning nggak makan?" Ali mendekat.
"Nggak, ah. Lagi males makan."
"Nggak boleh gitu, Ning harus makan." Ali duduk disamping istrinya itu. "Nanti Ning sakit."
"Nggak enak badan, jadi males makan."
"Mau berobat ke rumah sakit?"
"Nggak."
"Biar dicek sama dokter, Ning. Bisa saja kan karna telat haid, Ning jadi kurang enak badan?"
Fatimah menatap Ali. "Gus, bisa nggak sih, jangan maksa jadi orang? Kalo saya mau berobat juga nanti saya bilang, saya nggak suka dipaksa paksa."
Ali mengangguk. "Yaudah, maaf, Ning."
•••••••••••
"Assalamu'alaikum," ucap Idris masuk ke dalam kelas yang sedang dimulai itu.
"Wa'alaikumsalam." jawab semua santri putra yang berada disana termasuk Ali yang tengah mengajar itu langsung menoleh ke arah Idris yang tengah mengatur nafasnya setelah berlari dari rumahnya. "Kamu kenapa?"
"Gush... Itu, anuhhh..." Idris terus mengatur nafasnya yang terasa sesak itu. "Kak Fatimah, pingsan, Gus!"
Sontak kedua bola mata Ali membulat setelah mendengar ucapan Idris. "Pingsan?! Kok bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAMKU GUS PONDOK
Spiritualité"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan sajadah?" Berawal dari Ayahnya yang tiba-tiba meninggal dan menitipkan pesan agar ia menikah dengan l...