Matahari yang redup terhalang pepohonan telah meninggalkan singgasananya berganti dengan megahnya bulan yang mendominasi malam.
Suhu udara kian dingin dan semua hewan penguasa siang telah kembali ke sarang masing-masing di ambil alih oleh serangga malam dan hewan lain sekawanannya.
Nyanyian merdu burung-burung langka penghuni hutan memberi giliran pada sang burung tokoh malam yang menyuarakan kicauan mencekam di sekitaran belantara.
Seorang pria cantik tengah duduk sendirian melipat kaki diatas sofa panjang, televisi yang menyala menjadi penerangannya diruang tengah dengan tatapan lurus kedepan dan isi kepala yang begitu liar, dunianya terasa sunyi tapi kepalanya begitu berisik.
"apa caraku melindungi Filbert sudah benar?"
"apa aku sudah bertindak menjadi kakak yang baik?"
"bagaimana jika apa yang ku lakukan menjadi sebuah luka yang membekas baginya?"
"aku sangat rindu adikku."
"aku sangat lelah, aku tidak melakukan apapun tapi aku sangat lelah."
Tanpa Devano sadari seorang pria tampan dengan kemeja merah dan celana selutut warna hitam memasuki rumah berjalan menuju ruang tengah yang menyorot cahaya redup dan berhenti saat menemukan seorang pria yang duduk termenung membelakanginya.
Jayden mendekat, melangkahi sandaran sofa lalu tiba-tiba rebahan diatas paha Devano dan Devano tersentak saat Jayden muncul.
"apa yang kau tonton?" tanya Jayden menatap televisi dan Devano hanya diam menunduk menatap Jayden.
"menyingkirlah." Devano berusaha memindahkan kepala Jayden namun pria itu menahan kepalanya.
"diamlah sebentar aku lelah sekali." ucap Jayden dan Devano beranjak dari duduknya namun tangannya berhasil di cekal Jayden.
"duduklah." Jayden bangkit duduk bersila menghadap Devano yang kembali duduk.
"kau tidak tidur dengan baik?" tangan Jayden terulur berniat mengusap mata panda Devano namun di tepis.
Pria tampan itu meraih bantal menaruhnya diatas paha menyangga dagunya dengan kedua tangan.
"kau sudah makan?" Devano diam.
"kau suka matcha? itu sudah dingin, mau ku buatkan yang baru?" Devano tetap diam menatap Jayden datar.
"kenapa kau dingin sekali? padahal setauku laki-laki cantik yang menginjak sepatuku tidak sedingin ini."
"bahkan dia sering mengikutiku diam-diam dan aku tau."
"ke perpus, kantin, taman kampus, gedung seni." jelas Jayden panjang lebar namun Devano tetap memasang ekspresi yang sama."kau tau aku dulu sempat menyukainya karna dia cerewet, bertingkah sok asik tiap kali melihatku tapi sepertinya aku tidak sesuka dulu karna dia sedang berperan menjadi si bisu sekarang." Jayden diam, memperhatikan Devano yang masih tetap diam menatapnya dengan pikiran melalang buana.
"kau ingin berlatih katana di air terjun?" Jayden berusaha menarik minat Devano.
"pergilah." lirih Devano dan Jayden beranjak dari duduknya berdiri di depan Devano lalu membawa kepala pria cantik itu ke dekapannya.
"apa kau baik-baik saja, Ano?" ucap Jayden lembut dan Devano diam, memejam di dekapan Jayden.
Pria itu melepas dekapannya menangkup pipi Devano mengangkatnya keatas membuat mata mereka bertemu.
"jangan di pendam sendiri, bagi lukamu bersamaku." Jayden menilik satu persatu manik Devano yang nampak lelah.
"jadilah apapun yang kau mau, ku izinkan kau menunjukkan sisi lemahmu di hadapanku."
"aku mencintaimu sedari kau tak sengaja menginjak sepatuku."
"menangislah jika ingin menangis, aku tak akan menertawakanmu karna cintaku padamu tak sebercanda itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
2 BROTHERS || JOONGDUNK
Fanfiction"katakan pada mereka akulah yang menewaskanmu." "aku ingin melihat bagaimana respon tua bangka itu." ia terkekeh berdiri meninggalkan mayat yang tergeletak dengan kepala putus. "tak ada yang mampu mengendalikan akal pikirku kecuali Jayden." Devano N...