Bab 1: Malam Yang Sepi

15.7K 710 12
                                    

Sabila memeriksa jam tangannya. Jam 1 pagi lewat lima menit. Ia meregangkan badannya yang agak kaku, sudah 30 menit ia membaca ulang data pasien IGD yang hanya berjumlah dua orang. Dokter jaga lainnya juga mulai mengantuk karena telah menuntaskan semua tugas mereka.

"Malam ini sepi ya.." sahut Ega, dokter jaga dengan tubuh jangkung.

"Ega! Jangan sebut kata itu." jawab Anna, dokter lainnya yang seumuran dengannya.

"Kata apa sih? Ooh...'Sepi' maksudnya? Ih klenik banget kau, Anna? Itu kan cuma cerita lama," jawab Ega santai, "Kamu nggak percaya juga kan, Dok?" tanya dokter muda itu kepada Sabila.

"Hm... sebenernya percaya nggak percaya. Tapi aku ga pernah berani coba-coba sebut kata itu sih. Takut pamali." jelas Sabila.

Brakkk!!!

Belum ada dua detik setelah ucapan Sabila, pintu IGD terbuka, memperlihatkan empat orang memapah satu lelaki yang sedang mengerang kesakitan.

"Dok! Tolong Dok! Kapten kami butuh dioperasi segera." sahut salah satu dari mereka, seorang gadis berbadan mungil berusia 20an tahun, menunjuk luka di bagian perut yang berusaha ditekan keras oleh kawan-kawannya. Darah segar berlumuran dari luka tersebut.

Dengan segera, Sabila memeriksa luka dan keadaan lelaki itu. Ia sudah pucat pasi, setengah pingsan, tapi berusaha keras untuk tetap sadar. Sabila lalu menginstruksikan mereka untuk menempatkannya ke brankar dan segera bergerak.

"Ega, Anna, hubungi dokter anastesi, dan segera siapkan ruangan operasi!" ujar Sabila, "Mbak Ayu, Mas Pras, aku titip IGD dulu sebentar ya." ia lalu berkata kepada kedua suster jaga.

"Terus tekan lukanya ya. Bisa jelaskan apa yang terjadi?" tanya Sabila kepada empat sekawan tersebut, sembari mendorong brankar bersama tim IGDnya.

"Kami polisi, Dok. Kapten kami tertembak, sekitar 20 menit yang lalu di daerah Rawamangun. Kita langsung kesini naik mobil." jawab lelaki tegap dengan suara berat.

"Berapa kali tembakan?"

"Dua kali, tapi yang kena satu. Nggak tembus keliatannya, nggak ada exit wound." jelas lelaki berbadan kecil dan berkacamata.

"Tau golongan darahnya apa?" tanya Sabila lagi.

"B, dok." jawab si gadis. "Bang Danil B juga, kalau butuh donor." tambahnya sambil menunjuk ke lelaki bersuara berat tadi.

"Oke. B kita punya stok banyak, tapi kalau kurang, pasti saya hubungin kalian. Sekarang kalian tunggu di luar ya." kata Sabila setelah mereka sampai di depan ruang operasi.

"Bang, berjuang ya..." gadis itu berkata lirih, menggenggam tangan lelaki tersebut, kemudian segera melepasnya.

"Gua tau lu kuat!" Danil kali ini bicara, sambil melepaskan tekanan lukanya.

"Lu kuat kan Bang, jangan ninggalin kita!" sahut lelaki berkacamata.

"Kalo lu mati Ren, gua doain arwah lu gentayangan." lanjut pria berwajah blasteran yang dari tadi diam saja, namun disambut oleh geplakan sang gadis, "Ih Kak! Kok gitu sih ngomongnya."

"Bacot lu semua.. Kalo mau mati mah gue udah dari dulu.." dengan suara parau, lelaki yang terkapar itu akhirnya angkat bicara dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya.

"Bang..." isak si gadis, pintu ruang operasi tertutup, lalu ketiga laki-laki itu merengkuh badan kecil gadis itu.

Two Worlds Colliding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang