Sebelum Sabila mengakhiri shift-nya, ia beranjak dari IGD menuju wing VVIP. Melihat Suster Rini yang masih bertugas, ia bertanya keadaan terakhir pasiennya.
"Nggak lama kita pergi, mereka semua pada pulang kok, Dok. Harusnya Pak Renner tidur sampai sekarang. Terakhir saya cek, infusnya masih setengah." jelasnya.
Sabila memasuki ruangan Renner dengan perlahan.
Renner terlihat terbaring, tapi matanya terjaga, melihat ke arah jendela.
"Eh- Pak Renner nggak tidur?" tanya Sabila yang kini berada di samping tempat tidur.
Renner yang baru sadar akan kehadiran Sabila, memalingkan kepalanya.
"Kebangun 15 menit yang lalu." jawabnya singkat.
"Ada keluhan sakit kah? Pusing?" tanyanya lagi.
"Sakit sih sakit. Tapi ya, udah biasa." jawab Renner.
"Pernah luka seperti ini sebelumnya ya?" Sabila bertanya, penuh kehati-hatian.
"Nggak kayak gini. Dulu tembus, tipis aja di lengan."
"Jujur ini pertama kali saya menangani kasus semacam ini. Jadi saya juga nggak tau proses recovery-nya harus seperti apa. Makanya saya harus tanya dan cek terus." Sabila memutuskan untuk jujur.
Renner mengangguk, "Dulu sih saya ga bisa gerakkin tangan seminggu. Tapi itu karena ada otot yang robek. Jadi dijahit. Yang ini, harusnya lebih cepet, kan?"
"Kalau nggak banyak gerak, ya, harusnya cepet nutup lukanya, Pak."
"Renner aja, nggak usah Pak. Saya belum bapak-bapak." sahutnya.
"Oh- oke. Atau saya panggil Kapten?" tanya Sabila.
Renner tertawa kecil, "Dokter kan bukan anak buah saya."
"Iya juga. Saya dokter kamu." sahut Sabila, "Kalau gitu, saya harus tanya tentang opioid. Kamu pernah ketergantungan?" ekspresi Sabila datar kali ini. Ia benar-benar ingin tahu mengapa pasiennya menolak pain killer dosis tinggi ini, padahal sakitnya pasti luar biasa.
"Hampir." jawab Renner singkat.
"Gitu aja? Hampir?"
"Iya, saya rasa hanya itu yang perlu dokter tau. Saya nggak alergi, dan nggak ketergantungan. Bisa dibilang, hampir. Lebih baik preventif kan?" sahut Renner, nadanya agak kesal saat ini.
"Saya bukan mau mencampuri urusan Bapak ya, saya cuma butuh tau latar belakang obat-obatan Bapak, supaya saya nggak salah kasih." jawab Sabila.
Renner merutuki dirinya saat ini, tak ada niat untuk bernada mengesalkan, tapi diantara misinya yang gagal, peluru yang sempat bersarang di perutnya, dan timnya yang tak kunjung dapat solusi, kepalanya mau pecah.
Renner memejamkan matanya sejenak kemudian berkata, "Maaf, saya nggak maksud- intinya saya nggak mau opioid. Saya takut."
Takut. Kenapa? Sabila bisa melihat sorot mata Renner yang tadinya tajam, berubah jadi lelah. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
"Oke, mungkin cukup informasinya. Ini infusnya mungkin harus diganti sejam lagi. Suster Rini standby. Nanti saya kesini lagi jam 4 sore. Saya harap Bapak istirahat total hari ini." Sabila berkata sambil melihat tabung infus dan mencatat di kertas yang ia bawa.
"Baik, Dok. Kan saya bilang, Renner aja." sahutnya sambil tersenyum tipis kali ini.
Bisa tersenyum juga rupanya. Batin Sabila.
![](https://img.wattpad.com/cover/363616168-288-k585293.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Worlds Colliding [Terbit]
AksiRenner dan Sabila, dua orang dengan profesi berbeda yang menguras tenaga- seorang AKP dan dokter emergensi, bertemu dalam sebuah keadaan yang membuat mereka jatuh cinta...atau tidak? 🍣