Bab 19: Plausible Deniability

8.8K 617 36
                                    

Renner mempersilahkan Sabila naik ke mobilnya, kedai yang akan mereka datangi tidak jauh tapi tidak dekat juga. Hari itu Sabila tidak membawa kendaraan. Sabila memang biasa berjalan kaki untuk pulang-pergi ke rumah yang berjarak hanya sepuluh menit, kecuali pulang malam ia kadang membawa motornya.

Mazda CX-30 Renner berjalan pelan karena macetnya jalanan. Sabila memandang jalanan, tapi kadang berusaha mencuri pandang ke sebelahnya. Dari interaksi beberapa menit silam, Sabila melihat sisi lain seorang Renner.

Hampir di setiap gerakannya, Renner menyertakan pertanyaan.

"Bisa buka pintunya?"

"Seat belt-nya bisa masang?"

"AC-nya kedinginan gak?"

"Kalo pengen dengerin musik, connect bluetooth aja."

Dering handphone Renner memecahkan pikiran Sabila. Renner memasang bluetooth headset-nya.

"Ya, Paul." jawab Renner pendek.

"Singkat banget, lagi di jalan ya?" sahutnya di ujung telepon.

"Iya. Sama Sabila, mau makan."

Paul, yang telah mengetahui cerita hari ini, mengurungkan diri untuk meledek sahabatnya itu.

"Oke. Dia ndak apa-apa?" tanyanya.

"Nggak apa-apa kok. Tapi tolong sweeping ya. Gue udah cek sekitar, aman si. Minta tolong Syarla buat cek bugs HPnya Sabila juga besok." jawab Renner.

Sabila menoleh. Apa mungkin HP-nya disadap? Ada gilanya juga Si Renner.

"Kita udah cross-check footage. It's a match. Tama itu orang yang di Rawam. Tapi nama dari KTP yang dia pake di RS itu palsu." ucap Paul.

"Anjing. Jadi dia yang nembakin gua?" refleks Renner emosi.

Sabila menoleh lagi, dengan tatapan khawatir kali ini.

"Ordal nggak sih? Lo atau anak-anak nggak ada yang kenal? Dia tau sedetail itu tentang gua, Paul." lanjut Renner.

"Dia nggak nembakin lo, Ren. Kita udah review footage-nya ulang. Dia itu justru yang nyuruh orang-orangnya Phyton buat mundur. Dia yang nyetir getaway car-nya mereka. Iqbal udah nge-run database polisi, semua kombinasi yang punya nama Tama. Dan, ada satu nama yang muncul, kita curiga banget. Tapi file-nya classified*, gua nggak ada clearance**." jelas Paul panjang lebar.

"Pake credentials gua. Kan lo tau." titah Renner.

"Udah. Sama aja." balas Paul.

"Hah? Gua nggak ada akses? Bajingan, siapa sih orang ini?!" Renner memukul setirnya, pelan, tapi cukup untuk membuat Sabila kaget sedikit.

"Eh, sori sori." Renner menoleh, meminta maaf, yang langsung dijawab anggukan oleh Sabila.

"Kirim gua datanya, nanti gue minta langsung ke Pak Dewa. Thanks ya Paul." tutup Renner.

Selepas mengakhiri teleponnya dengan Paul, Renner kembali meminta maaf kepada Sabila.

"Sorry banget ya, saya kebawa emosi. Banyak fakta yang bikin kaget." jelasnya.

"Nggak apa-apa kok, saya ngerti." jawab Sabila.

⏳⏳⏳

Setelah sampai di kedai dan memesan makanan, Sabila tak bisa menahan rasa penasarannya, "Jadi, Tama itu siapa?"

Renner menatap Sabila, cukup lama, banyak pertimbangan yang terlintas.

"Belum tau. Nggak usah dipikirin ya. Yang tadi sore itu, anggap aja orang biasa yang nitipin pesan." jelas Renner.

Sabila mengangguk, kemudian melipat tangannya dan menyandarkan badannya ke kursi kedai. Ia mengerti bahwa pekerjaan Renner penuh kerahasiaan tapi ia mulai merasa frustasi dengan semua informasi yang tidak bisa ia ketahui.

"Maaf ya, saya nggak bisa sharing banyak." sahut Renner, seakan membaca pikirannya.

"Eh- enggak kok, nggak apa-apa." balas Sabila, tak sadar bahwa ekspresinya terbaca.

"Jangan jawab nggak apa-apa terus, saya tau kamu terganggu." balas Renner.

Sabila menopang dagunya kali ini, "Apa yang boleh saya tau?"

Sejujurnya, nggak ada. Batin Renner. 

Sabila kemudian menatap mata Renner dengan penuh harapan, agar Renner bisa membagi sedikit informasi.

Ya kalo diliatin terus kayak gini, gimana nggak luluh. Batin Renner.

"Gini aja, kamu tanya, saya jawab yang saya bisa jawab. Kamu tau istilah 'plausible deniability'?" tanya Renner sekarang.

Sabila mengangguk semangat, "Istilah buat menghindari jawaban karena takut keterlibatan kan? Semacam plead 'the fifth' di amandemennya Amerika?"

Renner sekarang memicingkan matanya, heran akan pengetahuan Sabila yang diluar bidang biasanya.

"Saya suka nonton TV series kalo ngga bisa tidur." jelas Sabila.

Renner mengangguk dan mempersilakan Sabila memulai pertanyaannya, "Tapi inget, kamu nggak boleh share info ini ke siapapun. Nggak Nabila, nggak orang tua kamu, nggak kucing kamu sekalipun. Apa lagi ngetik di HP buat cari info lebih lanjut." 

"Nggak punya kucing sih, tapi, okeh!" Sabila terlihat sumringah kali ini. "Gimana perkembangan kasus Candy Pop?"

"Yes and no question only, Sabila." sahut Renner.

Sabila memanyunkan bibirnya. Gemes. Batin Renner.

"Yaudah...pertanyaan pertama. Renner, kamu ini Kepala Tim Detektif ya?"

"Bukan." jawab Renner.

"Loh, tapi kamu Detektif?" tanyanya lagi.

"Iya." jawabnya singkat.

"Pak Dewa yang sering kamu sebut it isu, maksudnya Pak Dewantara, Kapolri?"

Renner mengangkat bahu. Plausible deniability. Kayaknya iya sih. Batin Sabila.

"Kasus narkoba kemarin, tim kamu yang jadi lead investigators?" nada Sabila semakin tajam.

Lagi, Renner mengangkat bahunya. Iya lagi, kayaknya.

"Kalian udah deket buat nangkep pelakunya?" tanya Sabila melanjutkan.

"Saya kan nggak jawab pertanyaan yang sebelumnya, saya gak akan jawab pertanyaan ini juga." jawab Renner.

"Oke.. gini deh, menurut kamu, apa kasusnya bakal selesai dalam tiga hari ke depan?" Sabila masih mencoba.

Renner kali ini tertawa, dan menggeleng. "Saya nggak akan komen apapun mengenai kasus ini. Ini tuh masih on-going, Sabila."

Sabila mengerucutkan bibirnya, "Hmm oke. Kalo gitu nanya tentang Tama. Kalo kamu ketemu dia, apa kamu bakal tangkep?"

"Iya, jelas dong. Dia ngirim pesan aneh-aneh ke kamu. Kena pasal itu. Belum lagi identitasnya yang palsu." jawab Renner, lengkap kali ini.

"Pertanyaan terakhir, ya." sahut Renner yang disertai helaan napas Sabila. "Udah banyak loh, kamu nanya." lanjutnya.

"Ya tapi yang dijawab dikit." keluhnya, "Tapi yaudah deh. Terakhir ini. Kamu... apa kamu bakal ada dalam baku tembak lagi dalam waktu dekat ini?"

Renner yang tadinya melihat teh tawarnya jadi mendongak ke Sabila, menatapnya dalam-dalam, "Rencananya sih enggak."

Sabila tersenyum dalam hati, ada perasaan lega yang teramat. Ia berharap Renner menjawab jujur. Tapi ia hanya mengangguk dan berkata, "Saya cuma khawatir jahitan kamu lepas lagi."

"Iya, saya tahu kok. Karena apa lagi yang perlu dikhawatirkan?" tanya Renner retoris sambil tersenyum.

*classified: bersifat rahasia

**clearance: ijin (untuk mengakses informasi)

Two Worlds Colliding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang