Bab 44: Cerita Sabila

8.9K 774 80
                                    

Setelah Sabila agak tenang, Renner dan Sabila menghampiri ruang istirahat di mana Ega dan Dokter Bayu berada.

"Kalian nggak apa-apa?" tanya Renner.

Ega masih banjir keringat dingin, sedang meminum segelas air putih, hanya bisa mengangguk ragu, "I-iya gapapa sih Bang." jawabnya. Sabila mendudukan diri di samping Ega, memberinya tissue untuk mengelap peluh di dahinya.

Renner menepuk pundak Ega. "Sori ya, kita lama masuknya. Nunggu kalian hampir selesai operasi dulu. Dua orang itu emang buron." jelasnya.

"Ya deg-degan banget sih sebenernya. Tapi untung Ega sama Sabila masih bisa operasi dengan baik." ujar Dokter Bayu, cukup bangga kepada dua juniornya itu.

Renner menghampiri Dokter Bayu kali ini, mengulurkan tangannya, "Makasih ya, Dok. Kalo bukan karena antisipasi dokter untuk ngasih silent code grey dan membatasi masalah di ruang operasi, mungkin hari ini udah beda cerita. Danil, team leader saya nitip makasih juga."

Dokter Bayu menjabat tangan Renner, "Sama-sama. Saya cuma ikutin protokol aja. Maklum saya baru, jadi semua emergency training-nya Medika masih nempel di otak. Khawatir juga IGD bakal berantakan kalo orang-orang panik."

Renner mengangguk tersenyum, dokter-dokter IGD memang patut diapresiasi dalam menangani kegawat daruratan.

"Oh iya, Ega, Sabila, pulang aja kalian. Pasti abis ini Dokter Ferry bakal dateng dan manggil dokter pengganti. Belum nanti heboh ada kepala rumah sakit, pers, dan lain-lain. IGD bakal setengah kapasitas." sahut Dokter Bayu. Mereka pun mengangguk.

Sabila dan Renner kemudian pamit dan berjalan keluar ruangan.

"Kamu pulang sekarang ya? Keburu rame. Aku mesti de-brief dulu sama tim sebentar." sahut Renner.

"Nggak mau. Mau sama kamu. Aku tungguin aja." Sabila menggenggam lengan Renner erat.

"Yaudah aku pamit aja, nggak usah ikut de-brief. Lagian Danil hari ini yang in charge. Tunggu bentaar aja, ya?" tanya Renner lembut, mengelus genggaman gadisnya.

"Oke."

Renner pun setengah berlari menghampiri timnya, tidak ingin kekasihnya menunggu lama.

Sabila memperhatikan kekasihnya itu dari jauh. Renner kini sedang berkumpul di parkiran beserta rekan-rekannya. Ini kali pertama Sabila melihat Renner 'in action'. Meski setengah hatinya khawatir, tak bisa ia pungkiri, Renner yang masih mengenakan bulletproof vest hitamnya terlihat gagah bahkan dengan satu tangan yang di-sling.

Pacar gua, emang beneran polisi, ya. Batin Sabila.

⏳⏳⏳

Sampai di rumah, Renner meminta Mbak Sari untuk membuatkan teh hangat untuk Sabila. Setelah terhidang, mereka duduk di sofa.

"Ren kok aku masih gemeter ya?" tanya Sabila sambil memperlihatkan tangannya yang masih bergetar kecil.

"Ngga apa-apa, itu adrenalin, Sayang. Nanti lama-lama ilang. Tenang aja."

Sabila menutup kepalanya dengan kedua tangannya, masih berusaha mencerna apa yang terjadi pagi ini. Renner hanya menatapnya, hatinya hancur melihat kekasihnya itu. Entah kata-kata apa yang harus ia tawarkan, rasanya tak ada yang bisa membuat keadaannya lebih baik.

"It will get better." ucap Renner akhirnya, mengusap punggung Sabila.

Sabila kemudian menoleh, "Kamu kayak gini ya, tiap hari?"

"Maksudnya?"

"Ya, ditodong pistol." 

Renner menghela nafasnya, bisa-bisanya Sabila memikirkan dirinya di keadaan seperti ini. "Enggak, Sayang. Kan aku polisi, aku yang nodong penjahat dong." sahutnya berusaha tenang.

Two Worlds Colliding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang