Bab 8: Tiga Hari

9.7K 647 4
                                    

"Ren, lu yang bener aja!" Paul setengah berteriak.

"Bang, tolonglah." Syarla melipat tangannya berjalan ke ujung tempat tidur.

"Wah lu cari gara-gara sih, Bang." sahut Danil.

"Gua gabisa berkata-kata." Iqbal menggelengkan kepalanya.

Sabila bukan main bingungnya. Sementara Renner hanya tersenyum.

"Tutup dulu pintunya. Berisik kalian, tau gak." gerutu Renner.

"Dok, Dokter udah tau kayaknya kalo dia keluar kamar?" tanya Paul. Sabila mengangguk.

"Dia kabur, saya nggak tau apa-apa loh." Sabila mencoba membela diri.

"Tenang kita nggak nyalahin dokter, emang ada benernya diborgol aja ke kasur ya. Gimana Dok, setuju kan?" tanya Syarla kali ini.

Sabila hanya tertawa kecil. Sepertinya timnya juga tidak menghendaki perbuatan sok pahlawan kaptennya itu.

"Klian ni, dibantuin malah bukannya terima kasih."

Iqbal memijit titik di antara dua alisnya. "Ya makasih sih Bang, tapi ada gilanya dan kagetnya juga lu muncul di detik-detik penting. Untung udah biasa tek-tokan kalo engga buyar semua, tau!"

"Tapi bermanfaat kan kehadiran gua? Kalo engga kalian ga tau kalo ada pintu kelima tempat mereka semua bisa kabur, terus gagal lagi deh misi lu, ya Paul?" sindir Renner kali ini.

Paul menggeleng, "Masih bisa kita kejar sih, ekstra aja."

"Sit-rep, lah. Jangan marah-marah aja." sahut Renner santai.

Sabila yang sudah menyelesaikan tugasnya, hendak berjalan keluar kamar.

"Dok, Dok, sini aja Dok. Sekalian denger biar kapten saya ini bisa seenggaknya percaya kalo misinya aman, timnya bisa diandalkan, terus bisa diem disini berhari-hari, ya?" sergap Paul.

"Eh tapi bukannya ini rahasia negara?" tanya Sabila.

"Iya tapi kan dokter udah jaga rahasia kapten dari kemarin, apalah arti nambah materi rahasia sedikit?" Paul segera mendudukkan Sabila ke sofa, bergabung bersama yang lain.

Syarla yang kemudian berdiri dan menjelaskan situasi akhir.

"Jam 12:00 seperti yang Kapten tau, ada mini-op di Cherry. Target tiga orang, semuanya dapet. Jam 14:00 interogasi terpisah oleh Bang Paul, Bang Danil, dan Bang Iqbal. Semuanya kompak bilang kalo mereka cuma perantara dan nggak mau ngasih nama supplier asli. Tapi Syarla berhasil nemu message dari HP kalo salah satu diantara mereka kontakan sama Falcon. Yang dua kita lepas, yang satu ini bakal jadi saksi kita. Jam 15:30 interogasi selesai dan kita semua kesini. Laporan selesai."

"Oke, good. Bal, follow-up yang kemarin di Rawam gimana?" tanya Renner.

"Sepantauan gue, nggak ada bisik-bisik apapun. Nggak dari atas, nggak dari pihak mereka juga. Jadi bikin nggak paham sebenernya yang kita grebek itu siapa? Yang nembak lo itu siapa? Soalnya gudangnya Falcon masih business as usual, biarpun trace sadapan mobil Paul asalnya dari sana." jawab Iqbal sambil melihat iPadnya.

"Mungkin suruhannya Phyton? Dia kan loyal banget sama Falcon, mungkin dia mau nutupin keributan ini dari Falcon." jawab Danil.

"Phyton anak buah yang segitunya ya ke Falcon?" tanya Paul kali ini.

"Dia adek iparnya Falcon, bro, wajar kalo segitunya." lanjut Danil, "Tapi aneh kalo Phyton nggak ngelakuin apa-apa dengan informasi ini."

Mereka semua mengangguk, sementara Sabila masih duduk dengan bingung.

Ini gua kenapa ada disini sih? Batinnya.

"Jadi...intinya, Pak Dewa nggak marah, karena misi gagal kemarin nggak sampe kuping dia. Tapi kita masih mesti cari tahu siapa yang gagalin kejadian Rawamangun. Kalo diliat sih semuanya lagi adem ya, jadi menurut gua, is okay kalo kita take our time... gitu Ren." Paul membuat konklusi panjang.

Renner tampak tak puas dengan jawaban Paul.

"Lu tau nggak udah berapa sekarang korbannya?" tanya Renner. Paul menggeleng.

"Kerjain PR lu. Dokter Sabila aja udah sampe tau market name-nya."

Mereka berpandangan, kemudian melihat ke arah Sabila.

"Ehhhh engga, anu, kebetulan doang kok. Kok ini jadi saya ya?" tanya Sabila bingung.

"Ceritain aja yang tadi Dokter bilang ke saya." sahut Renner.

"I-iya. 'Candy Pop' kan ya? Intinya ada beberapa kasus OD di daerah pinggiran, katanya anak-anak ini makan permen, bentuknya kayak lolipop, bungkusnya putih ijo, belinya nggak di warung tapi enak banget katanya. Ini cerita dari salah satu anak di puskesmas yang nggak sengaja makan." tutur Sabila.

"Wah sakit." Syarla kali ini buka suara, sambil menggosok kepalanya yang tak gatal.

"57." sambung Iqbal, "Korbannya 57 anak, Bang, yang meninggal. Data BNN terbaru ini gua baru akses dashboard-nya."

"Ini produk baru dua minggu di pasaran, Paul. Lu masih mau bilang kalo kita bisa take our time??" tanya Renner frustasi.

Sabila kali ini memperhatikan ekspresi Renner dengan seksama. Dalam kurun waktu 36 jam ini, ia telah melihat ekspresi dingin, tegas, khawatir, manis, kesal, tapi baru kali ini ia melihat ekspresi frustasi.

"Ya tapi kita juga gak bisa gegabah Ren. Lu sendiri yang berkali-kali ngingetin kalo Team Shadow ini nggak bakalan berfungsi kalo tim kita udah ketauan sama lawan kita. Kejadian Rawamangun kalo keulang lagi ya bubar kita, capek tau gua nyapuinnya!" Paul menjawab dengan nada yang tak kalah kesal.

"Bang, lu..." Syarla berkata lirih, bingung kali ini, hanya memandang Renner, Paul, kemudian Sabila.

Danil menggeleng ke arah Syarla, seakan berkata 'jangan dibahas', kemudian angkat bicara, "Yaudah, gini aja. Kita bikin plan. Gua rasa ga ada gunanya juga maksain lo yang setengah sakit gini, Bang. Lu disini dulu sampe sehat, sementara kita build-up intel, koneksiin Falcon atau Phyton sama Eagle, sekaligus ngusut pelaku Rawamangun. Pas lu udah sehat....kapan? Let's say 3 hari lagi, kita re-group dan putusin gimana caranya wrap-up kasus ini. Gimana? 3 hari sanggup nggak, Syar, Paul?"

"Gua yakin sih pelaku Rawam bisa gua usut. Bang Danil, lo bantuin gue canvass semua CCTV daerah sana ya. Sama database plat mobil." jawab Paul mantap.

"Gua bisa hack Phyton besok di kantornya. Bal, temenin ya." sahut Syarla yang dibarengi anggukan oleh Iqbal.

"Tiga hari bisa sembuh kan Dok?" tanya Danil kepada Sabila.

Sabila memutar bola matanya, "Ya nggak ada yang bisa jamin, tapi kalo bener-bener istirahat sih luka jahit harusnya nutup."

Renner bertukar pandang dengan Danil. Kemudian mengangguk. Tanpa berbicara, Danil dan Renner tampak bisa berbicara satu sama lain hanya lewat mata. Mereka dua orang yang sangat berbeda, tapi saling melengkapi. Renner yang meledak-ledak, sangat keras dan tegas, sementara Danil yang hemat bicara tapi bisa selalu menyikapi konflik dengan kepala dingin.

Meski Paul adalah sahabat Renner karena mereka satu angkatan akademi polisi, semua orang tau kalau Danil adalah orang nomor dua di tim. Mungkin Renner dan Paul adalah partner ride or die, tapi soal kepemimpinan di tim, Danil adalah orang kepercayaan Renner.

"Oke, bubar deh lu semua. Capek gua mau tidur." sahut Renner yang disambut oleh lemparan bantal dari Paul. 

Two Worlds Colliding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang