Bab 23: Khawatir

8.4K 624 21
                                    

Kamis. Dua hari setelahnya.

Sabila mengaduk-aduk sereal di mangkuknya dengan tak semangat. Hari ini dia bebas tugas. Ayah Ibunya akan pulang malam ini dari Lampung dan sebenarnya ia cukup menunggu momen orang tuanya pulang. Tapi...

"Kak? Kakak kenapa sih? Sakit?" tanya Nabila.

"Eh? enggak." ia tak menyadari bahwa Nabila telah memperhatikannya dari beberapa menit yang lalu.

"Kenapa sih? Kakak tuh minggu ini bengong terus. Ada masalah ya?" tanyanya lagi.

Sabila terdiam. Ia sudah terbiasa berbagi hal apa saja, dari yang penting hingga yang remeh ke adik satu-satunya itu. Kali ini, ia tak tahu apa yang ia bisa bagi.

Sambil menatap Nabila nanar Sabila berkata, "Nggak, nggak ada masalah. Kakak cuma khawatir aja..." ia berhenti sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, membuat Nabila penasaran, "...sama Renner. Tapi nggak tau ah, Nab. Kerjaan dia terlalu rahasia-rahasia gitu. Kakak bingung."

"Ya ampun, Kak... Kirain kenapa. Gampang. Telepon aja itu mah. Selesai urusan." jawab Nabila santai.

Sabila menatapnya heran kali ini, "Gampang, gampang, kalo gampang mah udah dari kemarin dilakuin."

"Lah, ya terus kenapa nggak ditelepon?" tanya Nabila balik.

"Ya.. soalnya...ya aneh aja? Dia kan gabisa cerita tentang kerjaannya dia." jawab Sabila.

"Tapi kan dia bisa cerita soal kabarnya dia... Paling gini, kakak tanya 'apa kabar?' Terus dia jawab 'aku baik-baik aja, sayaaang' gitu kan? Udah deh kakak nggak galau lagi." balas Nabila sambil tertawa.

"Iiiiih! Bikin kesel aja kamu tuh! Orang lagi serius juga." cibir sabila sambil melempar lap meja ke adiknya itu.

"Lagian, khawatir, khawatir, emang kakak siapa?" ledek adiknya lagi.

"Dokternya." senyum Sabila yang dibalas dengan lirikan malas Nabila.

Tapi Nabila benar. Ia bisa saja menelpon Renner, toh nomor kontaknya sudah ada di HPnya.

⏳⏳⏳

Sementara itu, Renner sedang bermalas-malasan di rumah Paul. Ia berniat menghabiskan waktu liburnya dua hari ke depan setelah kemarin lembur mengerjakan laporan misi Candy Pop di Bintang bersama seluruh anggota timnya.

HP Renner berdering. Yang punya sedang di kamar mandi. Dengan langkah gontai, Paul bergerak ke sumber suara. Tidak biasanya ada panggilan masuk jam segini. Lagian lagi libur. Batin Paul.

Ia melihat layar HP Renner.
Caller ID. Sabila.

Waduh. Angkat nggak ya? Nggak deh, daripada kena omel.

Dering ke sepuluh, Renner keluar dari kamar mandi dan mengangkatnya. Ia berjalan keluar kamar Paul agar sahabatnya itu tidak mendengar percakapannya.

"Halo, Sabila." sapa Renner ramah.

"Halo Ren, apa kabar?"

"Baik. Kamu gimana?"

"Baik juga." kemudian hening. Sabila masih menimbang apa yang harus ia katakan ke Renner.

"Ada apa, Sabila? Kok nelfon?" tanya Renner akhirnya.

"Nggak ada apa ya...mau nanya tentang jahitanmu aja. Udah dilepas?" tanya Sabila.

Jujur, Renner lupa sama sekali. Sudah hampir dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit dan misi Candy Pop mengambil alih fokusnya.

"Eh? Belom, loh. Saya lupa banget." jawab Renner.

"Oh, ya segera dilepas kalo gitu. Bahaya kalau enggak."

"Kamu shift nggak hari ini? Saya ke RS deh kalo iya."

"Enggak, hari ini libur. Besok aja mungkin? Saya ada sampe jam 5 sore."

"Oke boleh. Sampe besok kalo gitu."

Panggilan itu begitu singkat. Tapi cukup untuk mengingatkan Renner akan kerinduannya terhadap suara dokternya itu. Suara Sabila juga membawanya kembali akan hari-hari di rumah sakit dua minggu lalu. 

Ngapain nelfon sih. Jadi makin kangen kan. Batin Renner sambil berjalan kembali ke kamar Paul.

"Cie. Ada yang nelpon. Nyariin ya?" goda Paul.

"Bukan, Syarla nanya gue tentang sepatunya yang ketinggalan di mobil." jawab Renner beralasan.

"Basi lu. Gue udah liat Caller ID-nya ya. Sabar banget tuh Sabila nungguin lo ngangkat." sahut Paul.

Renner tersenyum karena ketahuan, "Dia cuma nanya jahitan gue. Jujur gue lupa loh. Kemarin mana ada waktu buat mikirin gituan."

"Oh iya juga. Udah mesti dilepas ya. Enak juga ada dokter pribadi yang ngingetin." ucap Paul.

"Paul...lo kenapa sih." sahut Renner dengan nada kesal.

"Ya elu yang kenapa? Jelas Sabila tuh tertarik sama lo, lo malah sok dingin. Emangnya lo selaku itu? Kalo lo nggak mau sama dia, biar gua deh." Renner langsung menoleh ke arah Paul.

"Nggak ada ya." tajam Renner.

"Nah kan? Gasuka kan? Yaudah sih, deketin yang bener." hela Paul kali ini.

"Nggaklah Paul. Lo tau kan, kehidupan kita, kehidupan gue kayak apa. Banyak masalah. Kasian nggak sih."

"Ren. Lo tuh udah nggak punya keluarga lagi. Lo nggak mau apa punya keluarga baru? Kalo dia jadi istri lo, lo bisa share semua rahasia-rahasia ini ke dia. Sekarang gua tanya, nomor siapa yang lo tulis di form emergency kontak lo?" tanya Paul.

"Nomornya Tante Sri." jawab Renner.

"Dih, udah minta ijin lo naro nomor nyokap gua?"

"Nggak selalu kok, kadang gue ganti." bela Renner, "...jadi nomornya Tante Rita."

Tante Rita adalah Mama Syarla, Paul hanya menggeleng tapi juga sekaligus mengerti keadaan sahabatnya itu, "Ngaco emang."

"Pokoknya gue gak mau Sabila harus urusan sama kehidupan polisi ini. Capek tau. Kasian." ucap Renner.

"Kalo yang gua liat sih dia orangnya tough ya. Tapi ya gatau kalo lo ngeremehin dia." ujar Paul.

Renner hanya memutar bola matanya. Tapi ia juga berpikir tentang apa yang Paul sampaikan barusan. Sabila memang seseorang yang kuat, jauh lebih kuat dari kebanyakan orang yang ia pernah temui, termasuk rekan-rekannya di kepolisian.

Dan, apa ia tidak ingin punya keluarga baru? Ah, rasanya ia berpikir terlalu jauh. Kencan saja ia belum pernah.

Two Worlds Colliding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang