"Bersama yang tidak terduga terpadat takdir yang telah dipasangkan."
Tubuhnya basah kuyup, dingin yang menusuk hingga ke tulang membuatnya menggigil. Ingin cepat cepat sampai ke rumah dan langsung bergelung dalam selimut. Namun itu semua hanya lah angannya saja, kenyataannya ada hal besar yang harus dihadapinya. Kala kira badai yang datang tak membawa petaka, namun badai yang datang menghadirkan yang tidak terduga. Mereka kembali setelah bertahun tahun meninggalkan dirinya seorang diri layaknya anak sebatang kara.
Matanya terbelalak, hatinya bergemuruh menahan gejolak emosi yang tersimpan di alam bawah sadarnya. Kenapa mereka harus kembali ketika semuanya sudah berjalan normal. Tak ada raut rasa bersalah di wajah mereka. Malah seolah memamerkan sebuah keluarga sempurna yang tak pernah dimilikinya. Sialnya mereka masih sama, tak pernah menganggapnya berharga.
"Untuk apa kalian datang kemari?" tanyanya pada orang yang bernama keluarga.
"Tentu saja untuk mengambil rumah ini," jawab wanita itu dengan sengaknya.
"Ibu gak berhak ambil rumah ini," suaranya bergetar menahan tangis.
Tangan wanita itu seketika melayang pada wajah putrinya, "ini rumah yang diwariskan nenekmu itu padaku, kau hanya anak tak tau diuntung yang tak berhak menikmati warisanku."
"Kemana ibu waktu nenek meninggal?ke mana ibu waktu nenek berjuang melawan rasa sakitnya? Sekalipun ibu tak pernah hadir ketika nenek membutuhkan dukungan. Apakah ibu masih berhak mengharapkan harta nenek," di sini air mata Kala sudah tak mampu lagi dibendung.
"Itu bukan urusanmu, kau hanya seorang anak sialan yang merusak seluruh hidupku," ucap wanita itu dengan begitu tega.
"Kalian tidak berhak mengambil rumah ini."
"Kau kira rumah ini milikmu? Kau salah, rumah ini masih atas namaku jadi tentu saja aku berhak mengambil rumah ini. Jangan harap kau bisa tinggal di rumah ini," senyum sinis dari sang ayah tiri itu kembali membuatnya miris.
"Aku tidak akan meninggalkan rumah ini," Kala kekeh mempertahankan rumah ini.
"Di sini aku pemiliknya, tentu saja kau tak berhak mengatur apapun. Cepat kemasi barang barangmu dan pergi dari rumah ini. Kau hanya membuat hidupku buruk saja," ucap sang ibu dengan ketus.
"Tunggu apalagi cepat kemasi barangmu dan pergi dari sini!" sentak si ayah tirinya.
Dengan langkah lunglai Kala masuk ke dalam rumah. Berat rasanya untuk meninggalkan rumah ini. Namun, apa daya sang ibu benar-benar mengusirnya. Tak peduli di luar sedang hujan dan badai, seperti tak ada belas kasih. Di beri waktu hanya 2 jam untuk mengemasi semua barang-barangnya. Sungguh dirinya tak tahu harus ke mana. Mungkin nanti akan membawa seluruh barangnya ke toko. Tak terasa air matanya yang sedari tadi terbendung akhirnya jebol. Tangis pedih itu kini kembali membaur dengan rasa sakit, nyatanya selama dirinya hidup tak sekalipun ada kasih sayang yang nampak dari hati ibunya, kebencian itu tergambar jelas di bola matanya.
Berkali-kali mengucap kata baik-baik saja, pada kenyataannya hatinya dibuat hancur. Tak banyak barang yang dimilikinya, beberapa lagi sengaja tak dibawanya. Biarkan saja itu hanya sebuah benda tak bernyawa. Mereka sudah menunggu untuk segera mendepaknya. Langkahnya semakin berat, rasanya sangat amat sulit. Baginya rumah ini memang tak menawarkan sebuah kelengkapan, tapi menawarkan kehangatan yang tak pernah dimilikinya. Kenangan itu yang, membuatnya enggan untuk pergi, cuma melawan hanya akan membuatnya semakin sakit. Bukan karena pukulan atau makian, tapi karena ucapan yang berasal dari mulut ibunya yang membuat hatinya lagi-lagi tersayat.
***
Bingung caranya membawa seluruh barang barang miliknya, mengingat hari yang sudah gelap disertai hujan dan badai. Ingin menelepon temannya, tapi rasanya sungkan mengganggu waktu beristirahat mereka. Mengangkut semuanya dengan sepeda juga tidak memungkinkan. Jika bolak-balik pun itu terlalu beresiko. Ibunya benar-benar tak peduli, bahkan mereka langsung mengunci pintu rumahnya dan meninggalkan seorang diri di balik pintu. Ingin meminta tolong, tapi bingung harus meminta bantuan pada siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Bersama
ChickLitApa artinya pulang jika tak pernah memiliki ruang untuk bersama. Mereka yang terbiasa diabaikan tak tahu caranya memberi sebuah perhatian. Begitu juga dengan sebuah kehampaan karena selama ini merasa selalu di buang dan diasingkan. Cara semesta memp...