11. Menghadang Badai

105 21 0
                                    

"Jika hidup tak ada ujian, maka manusia tak akan merasakan bagaimana menghadapi rintangan. Maka jangan harap bisa mencapai bahagia jika semuanya hanyalah kebohongan yang menyamar."

Praba yang terlihat seperti pengangguran itu sering kali digosipkan miring. Ya gimana pekerjaannya tak menuntutnya untuk tampil di muka publik. Apalagi sekarang semua serba digital, jelas semakin mudah untuk menjangkau segala hal melalui internet, begitu juga dengan pekerjanya. Hanya saja pandangan itu tak selaras dengan pandangan masyarakat desa. Stereotip tentang manusia yang sukses adalah yang menjadi PNS, padahal jika di telisik lagi gajinya juga tak kalah dengan orang yang jadi PNS. Apalagi sejak dulu dirinya dianggap berandalan kampung, makin menjadi gosip gosip tak sedap tentang dirinya. Jika dulu Praba akan memilih diam saja, terserah mereka mau berkata apa saja toh dirinya tak pernah merampas hak orang lain. Hanya saja saat ini rupanya tak berlaku lagi, citranya yang sudah terlanjur buruk itu tak boleh dibiarkan makin buruk kalau tidak nanti istrinya juga akan terkena getahnya. Tentu saja, suami mana yang terima jika istrinya dikata-katain yang tidak tidak.

Apalagi mengira jika dirinya menghidupi sang istri dengan uang haram, yang benar saja. Dirinya bekerja banting tulang gak peduli siang malam dikira makan uang haram. Jujur saja dirinya tersinggung mendengar perkataan itu. Cuma kalau pun menunjukkan apa pekerjaannya siapa yang akan percaya, mereka sudah menanam jika dirinya hanyalah seorang preman yang suka membuat onar.

"Heran sama gosip mu yang tiap hari gak ada habisnya," celetuk Hardi sambil menyeruput kopinya.

"Kali ini apalagi yang mereka bicarakan?"

"Tak jauh jauh dari istrimu yang dikira naik ranjang untuk bisa menikah denganmu dan kau yang menghidupi istrimu dengan uang haram."

"Sialan, aku diam mereka semakin mengada-ngada."

"Salah sendiri kenapa gak nunjukin kerjaanmu apa biar mereka kicep."

"Mereka mana percaya, wong aku dikira preman kampung."

"Padahal yang kayak berandal itu cuma tingkahmu aja, mereka ini suka ngada-ngada."

"Aku hanya males nanggepin mulut ibu-ibu yang kayak sampah itu, cuma makin ke sini makin nyerang Kala."

"Yo ojo mbok diemin ae, sekali-kali iku mereka teguren."

"Mereka kalau ketemu aku mosok berani, ngomong e pas gak enek aku."

"Lah istrimu gak tau ngadu tah?" tanya Hardi heran.

"Dia apa-apa dipendem dewe gak gelem ngomong. Ketahuan e pas pagi-pagi belanja ke tukang sayur. Nah iku aku eruh dewe omongan e ibu-ibu seng enggak enggak."

"Lah gak mbok bales tah?"

"Pas iku hampir tak habisi, cuma Kala rupane gak tego. Dia malah takut mbek aku, jadi yo gak iso ngamuk," terang Praba sembari mengingat kejadian waktu itu.

"Ora biasanya kau koyok ngunu, wong biasane koyok senggol bacok."

"Dikandani aku gak iso ndelok istriku wedi, makane timbang ribut dia ngajak balik."

"Ngeneki wes, istrimu iku anak e apikan gak iso mbales. Lek gak dirimu bakal dinjak-injak terus nanti."

"Ya kan aku gak bisa ngamuk ngamuk gak ono sebab e, lak koyok arek gendeng. Engkok lek konangan nok ngarep raiku ae tak entekno."

"Pokok ojo meneng ae, cangkeme wong kene lek di diemno malah gak ono aturan e."

"Iyaa, engkok lek aku krungu dewe baru tak sergap."

"Mas mu gak marani tah, biasane orang e gak terimaan lek ono seng ngelekno."

"Mas Surya sibuk ngurusi anak e, wong anak e kek setan kabeh lek sehari gak berulah kek e awak e gatel kabeh."

Ruang BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang