18. Di Persimpangan Jalan

72 16 0
                                    

"Mari kita tak bersinggungan agar tak membuka luka yang sudah lama terpendam."

Banyak hal yang baru disadari ketika kita sudah kehilangan. Kehilangan masa jaya karena masa muda yang serampangan. Itulah yang disesalinya ketika tua. Sebagaimana nasib telah diubah, nyatanya tak lagi dapat diperbaiki seperti sediakala. Manusia memang hanya punya satu kesempatan, ketika menyia-nyiakannya maka harus menerima resiko yang menghadangnya.

Penyesalan memang datangnya dibelakang, kini semuanya sudah terlambat. Hari-harinya dihabiskan dengan penuh perjuangan. Terkadang rasanya ingin hampir menyerah, namun apa daya ketika tanggung jawab harus dipikul sampai tuntas. Maka dengan keputusan yang teramat berat dirinya kembali ke kampung halaman. Memboyong keluarga kecilnya untuk melanjutkan hidup. Meskipun harus terseok-seok setidaknya jauh lebih baik dibanding terlunta-lunta tanpa tujuan.

"Bapak kalau masih belum sehat jangan memaksakan diri untuk bekerja, Harsa masih bisa kok," tutur sang putri penuh perhatian.

"Bapak udah baikan kok nduk, jangan khawatir. Toh pekerjaan bapak gak berat."

"Tetap saja, bapak kan baru sembuh. Gaji Harsa cukup kok kalau buat kebutuhan kita berdua."

"Kamu simpan saja gajimu buat kebutuhanmu sendiri nduk, kamu itu masih tanggung jawab bapak."

"Tapi pak," protes Harsa.

"Sudah nduk, gapapa. Bapak usahakan, kamu jangan terlalu banyak pikiran."

Berat hati Harsa pun mengangguk setuju. Mau dilarang seperti apapun jika bapaknya sudah bertekad tak ada yang bisa menghentikannya. Rasanya memang berat, namun mereka hanya bisa saling menguatkan satu sama lain. Sejak ibunya memutuskan pergi meninggalkan mereka demi kehidupan yang lebih layak, Harsa hanya punya bapak. Meskipun hidupnya tak bergelimang harta, rasanya masih jauh lebih baik.

Mereka baik-baik saja walaupun kadang hatinya merasa nelangsa, namun menyalahkan keadaan hanya akan memperburuk hidupnya. Menyadari jika sebelumnya mereka juga punya kesalahan. Berat jika dijabarkan betapa sulitnya menjalani hari-hari penuh ketimpangan. Tak ada satupun orang yang mau mengulurkan tangannya. Wajar bagi mereka hidupnya sudah tak lagi menguntungkan. Namun, bukan berarti harus mengambil jalan pintas untuk hidup lebih mudah.

Maka ketika bapak menawarkan untuk kembali ke kampung asalnya, Harsa menyambut dengan antusias. Setidaknya mereka tidak harus terlunta-lunta tanpa kepastian di ibu kota. Mereka cukup menjalani hidup secukupnya dan semuanya akan baik-baik saja. Hanya saja ternyata ada hal yang belum usai di masa lalu. Terkait masa lalu yang tak akan bisa dihapus begitu saja.

"Kamu anaknya Sura nduk?" tanya ibu-ibu pemetik teh.

"Enggeh Bu, saya anaknya Pak Sura," balasanya seramah mungkin.

"Baru pindah ke sini  berarti ya?"

"Iya Bu, kami baru pindah ke sini beberapa waktu ini."

"Walah cah kota kok gelem dijak pindah ke sini. Kan enak hidup di kota," cerocos sang ibu.

"Sami mawon Bu, di kota apa di desa itu sama aja. Kami mau cari suasana baru."

"Oalah, kamu udah ketemu sama anak bapakmu  yang dari istrinya yang dulu belum?" tanya sang ibu penasaran.

Harsa tahu arah pembicaraan ini akan dibawa ke mana, sebelum hal itu melebar  kemana-mana. Sebisa mungkin akan dihindarinya jika itu pembahasan mengenai anak sulung bapaknya. Bukan karena apa dirinya menghindari, hanya saja untuk menjaga hati mereka pada duka yang tak seharusnya. Biarkan mereka hidup dijalan masing-masing tanpa bersinggungan agar tak ada kebencian atas luka yang tak tahu awalnya dari mana.

Ruang BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang