PROLOG

229 38 44
                                    

Ingatlah bahwa cerita ini hanya fiksi dan bukan mencerminkan kejadian nyata.Nikmati cerita ini sebagai hiburan dan kesempatan untuk memasuki dunia imajinatif.Jangan ragu untuk terbawa oleh alur cerita dan ikuti perjalanan karakter dengan pikiran terbuka.Renungkan pesan atau tema yang mungkin disampaikan melalui cerita ini, tetapi tetap ingat bahwa itu adalah karya imajinasi.Semoga pengingat ini membantu pembaca menikmati novel fiksi dengan cara yang penuh penghayatan dan pengalaman yang mendalam!

Selamat Membaca!

Di suatu tempat di sebuah kota, seorang pemuda yang merasa bosan di dalam kamar memutuskan untuk pergi ke taman favoritnya. Pemuda itu bernama Arya. Ia baru saja keluar dari rumah. Dengan langkah tenang, menuruni tangga dan melewati gang kecil di antara rumah-rumah padat, hingga menapaki trotoar di sisi jalan aspal hitam. Di sana terlihat Cahaya keemasan dari lampu jalanan, diiringi irama instrumen Für Elise yang terputar di ponsel, melalui headset di kedua telinganya.

Malam itu, jalanan begitu ramai dengan kendaraan bersimpang siur dan bunyi terompet yang ditiup. Namun, Arya berjalan tanpa peduli, karena baginya, tidak ada lagi yang benar-benar berarti.

Saat Arya berdiri di persimpangan, hatinya terasa hampa. Bayangan masa lalu yang menyakitkan terus menghantui, membuatnya merasa seolah dunia telah beralih tanpa dirinya. 'Bagaimana mungkin semuanya bisa berakhir seperti ini?' pikirnya, tatapannya hampa menembus keramaian malam.

Namun, sesuatu tampak berbeda, yang membuatnya sadar. Ketika seorang anak mengenakan topi kerucut memegang terompet mungil di antara jemarinya, bersama kedua orang yang tampak seperti orang tuanya, melintas di depannya, mengalihkan pandangannya pada keramaian malam itu.

Sambil melepas headset, Arya meraba ke dalam kantong celana jeans hitamnya, mengambil ponsel lalu menekan sebuah tombol. Tampilan lock screen menunjukkan pukul 23:45, Selasa 31 Desember. "Oh... Tahun Baru ya!" gumamnya, mengantongi ponsel kembali, dan menyimpan headset ke dalam tas selempang yang melingkar di bahunya.

Ia menyeberangi jalanan itu, menatap kosong pada aspal hitam di depannya, seakan masih tak percaya semua ini bisa terjadi, rentetan peristiwa yang merenggut kebahagiaannya begitu saja. Bahkan masa depan tak lagi tampak sebagai tempat untuk menuju.

Arya seharusnya merasa senang ketika melihat ke belakang, tetapi itu malah sebaliknya, di mana ketika mengingat kata-kata lembut ayahnya di balik wajah seriusnya, belaian lembut ibunya di balik kata-kata tegasnya, dan seseorang yang selalu mendengarkan keegoisannya. Tapi ia telah melukainya.

Ketika tiba di seberang jalan, matanya teralihkan oleh seseorang. Langkahnya melambat saat melihat gadis itu, yang tampak mengenakan blus krem di bawah rambut hitam-nya yang terurai. Arya ingin menyapanya, tetapi kemudian ragu dan memilih diam. "Haruskah aku menyapanya? Apa dia masih ingat aku?" pikir Arya, namun akhirnya ia memilih diam dan hanya berdiri di samping wanita itu.

Seharusnya ia merasa senang dan bahagia dapat bertemu, tetapi menyapanya bukanlah pilihan yang tepat. Wanita itu benar-benar tak mengenalinya lagi, bahkan tak ada ingatan tentang Arya dalam dirinya. Semuanya telah menghilang, termasuk ibunya dan semua orang.

Beberapa waktu berselang, wanita itu melangkahkan kakinya menuruni jalan, seolah ingin menyeberang. Arya, dengan perasaan penasaran, mulai mengikutinya dari belakang, menjaga jarak. Hingga langkahnya terhenti saat cahaya silau menerpa wanita itu, diikuti suara berderu.

Arya menoleh ke samping dan matanya melebar panik saat melihat mobil melaju kencang ke arah wanita tersebut. Tanpa pikir panjang, ia berlari dan mendorong wanita itu ke samping.

Gadis itu terdorong hingga beberapa langkah dan hampir terjatuh. Dengan keadaan hampir tersungkur, ia menoleh ke belakang untuk memastikan apa yang terjadi, lalu melihat seorang pria yang tersenyum kepadanya.

Seketika, seperti sengatan listrik, sebuah ingatan samar masuk ke dalam kesadaran gadis itu, membuatnya mengenal sosok Arya. Ia sadar akan saat mereka bersama di kampus, jalanan, taman, SMA, dan semua hal serta tempat begitu saja teringat kembali. "Arya...?" tatapnya heran. Perlahan ia bangkit untuk berdiri, dengan senyuman yang perlahan muncul, membalas senyuman Arya. Namun, saat ia baru saja menatap pria di depannya itu.

Brakkk!!! Tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menghantam tubuh Arya. Segalanya terjadi begitu cepat. Sinta menjerit, 'Aryaaa!' Namun semuanya terlambat. Arya terlempar, darah mengalir dari kepalanya, mengotori aspal yang dingin, bersamaan dengan bunyi terompet yang ditiup dan suara letusan kembang api yang memekar indah di langit, menandakan tahun telah berganti.

Dengan bibir kelu, wanita itu menatap kosong. sedang Mobil sedan putih itu lolos begitu saja, dengan melaju kencang meninggalkan keramaian jalanan. Sinta tak dapat berpikir jernih. Ia terguncang, "Arya!" bisiknya lirih, dengan tertatih ia berjalan, meratap ke arah tubuh yang tergeletak di atas aspal.

"Arya," ulangnya dengan nada yang sama, "Aryaaa." Kali ini ia berteriak kencang, matanya berkaca-kaca sambil berlari ke arah Arya.

"Aryaa! Aryaa! Bertahan Arya!" ucapnya seusai tiba di samping Arya. "Ini aku, Sinta Arya, ayo bicaralah, bangun, Aryaa!" lanjutnya dengan suara serak, air matanya mengalir deras. Dengan isak tangis yang semakin menjadi, ia berusaha memeluk Arya dengan erat. Perayaan malam itu pun masih berjalan. Beberapa orang di sekitar jalan menyadari kecelakaan itu, mulai berbondong dan mencoba membantu dengan menghubungi ambulans.

Di tengah kesadarannya yang mulai menghilang, Arya mencoba membuka kelopak matanya yang terasa berat. Dengan samar ia melihat Sinta yang sedang menangis sambil memeluknya. Dalam sadarnya yang semakin menipis, ia hanya bisa terdiam kaku dalam pelukan gadis itu.

Dalam hati ia bertanya, "Kenapa dia menangis? Bukankah harusnya dia tak menangis? Karena harusnya aku orang asing, atau mungkin dia hanya merasa kasihan?"

"Sudahlah, begini pun tak mengapa, akhirnya kematian pun datang dengan cara yang buruk," sambungnya dengan penyesalan.

Namun dari sekian banyak kalimat yang terpikir olehnya, hanya satu kata yang dapat terucap. "Maaf," bisiknya lemah. Kata itu keluar dengan susah payah. Matanya berkaca-kaca, perlahan penglihatannya mulai redup, kelelahan merayap di seluruh tubuhnya. Ia merasa begitu lelah, dan halusinasi mulai menghampirinya.

"Dong!"

"Dong!"

Bunyi dentuman jam dinding terdengar di kepalanya. Ia melihat jam dinding besar dengan roda-roda gerigi mesin yang saling terjalin pada setiap sisinya. Perlahan, dinding itu runtuh dan membawanya terjatuh ke dalam jurang yang sangat gelap, seperti mimpi yang membawanya kembali ke dalam ingatan masa lalunya.

Jangan Lupa ya teman-teman untuk vote dan memberi komentar.

Supaya Author Lebih Semangat.

Terima Kasih.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang