***
Pagi ini, Arya sudah bangun sebelum ibunya sempat datang untuk membangunkan. Bukan karena tidak bisa tidur, tetapi karena semalam setelah bertemu dan berbicara dengan ayahnya, rasa lelah yang ia rasakan membuatnya langsung tertidur. Malam itu, kecemasan yang biasanya menghantui pikirannya tak punya cukup tenaga untuk hadir.
Namun pagi ini, suara derap kaki ibunya yang terdengar dari balik dinding kamarnya membuat Arya terbangun lebih awal. Mungkin sejak jam setengah enam, Bu Erin sudah sibuk dengan pekerjaan rumah, dari memasak sarapan, mencuci, hingga berbagai tugas lain yang rutin dilakukan seorang ibu rumah tangga.
Tidak ada yang aneh dari rutinitas Bu Erin. Arya sudah terbiasa dengan itu. Walaupun terkadang keributan kecil yang ditimbulkan ibunya bisa membangunkannya, biasanya ia hanya menutup mata dan kembali ke mimpi. Tetapi hari ini, derap kaki itu justru membuatnya cemas dan mengusir rasa kantuknya. Arya hanya berbaring, matanya menatap pintu, merasa enggan untuk bangun. Ia menunggu ibunya membuka pintu dan mulai berbicara, atau bahkan memarahinya.
Setengah jam berlalu, dan akhirnya Bu Erin mengetuk pintu. "Nak, sudah bangun?" tanya ibunya sambil mengintip ke dalam.
"Sudah, Bu," jawab Arya pelan, pandangannya tetap tertuju ke pintu.
"Kalau sudah bangun, langsung mandi, ya," ujar Bu Erin lembut, menutup pintu perlahan.
"Iya, Bu," jawab Arya, bangkit dari tempat tidur.
"Jangan lupa beresin tempat tidurnya, ya," tambah Bu Erin, membuka kembali pintu sebelum pergi.
"Iya, Bu," Arya menjawab dengan sedikit lebih ringan, menyadari bahwa ayahnya belum menceritakan masalah di sekolah kemarin. Seketika, rasa lega menyelimutinya.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Arya duduk di meja makan bersama ayah dan ibunya. Cahaya matahari pagi menembus jendela dapur, memantulkan warna keemasan di dinding yang penuh dengan foto-foto keluarga. Aroma nasi goreng buatan Bu Erin memenuhi ruangan, menyatu dengan suara air keran dan deru mesin cuci yang menambah kesibukan pagi itu.
Seperti biasa, setelah mengantar Arya ke sekolah, Bram dan Erin langsung pergi ke restoran yang mereka kelola. Hanya saja, hari itu ada sesuatu yang berbeda—kedipan mata dari Pak Bram di meja makan.
Hari berlanjut hingga siang. Di kelas, Bu Lina, guru IPA mereka, tampak tenggelam dalam buku yang dipegangnya. Beberapa siswa menguap atau mengobrol pelan, seolah menunggu bel berbunyi. Ada yang seksama mendengarkan, ada pula yang sibuk berbicara, bahkan berpura-pura membaca buku sambil tertidur—kebiasaan yang tak jarang dilakukan Arya, terutama di jam pelajaran terakhir seperti ini.
Untuk Arya, sekolah terasa seperti penjara. Bukan karena dia tidak pintar, tapi duduk di kelas mendengarkan pelajaran yang tidak menarik baginya adalah siksaan. Aktivitas di luar kelas, seperti bermain basket atau membaca komik di taman sekolah, adalah pelariannya.
Di tengah penjelasan Bu Lina tentang fisika kuantum, pikiran Arya melayang. Ia menatap keluar jendela, melihat anak-anak kelas lain bermain basket. Ia cemas akan apa yang akan terjadi nanti setelah jam sekolah berakhir—pertemuan dengan kepala sekolah dan ayahnya, serta kekhawatiran bahwa ibunya akan tahu masalah yang sedang dihadapinya. Dalam hati kecilnya, Arya berharap keajaiban datang, sebuah keajaiban yang membuat hari ini tidak pernah terjadi.
Rasa cemasnya bukan karena takut menerima hukuman fisik, tapi lebih kepada ketakutan akan kemarahan ibunya yang bisa merampas kebebasannya. Kebebasan yang mungkin akan direnggut untuk waktu yang lama, bahkan pada hari Minggu yang ia tunggu-tunggu. Kenangan tentang panggilan sekolah sebelumnya, ketika ibunya marah besar karena ia ketahuan bolos, masih segar di ingatannya. Ini adalah ketiga kalinya Arya menghadapi surat panggilan itu.
"Silakan catat poin-poin penting ini, karena pemaha..." Ucapan Bu Lina terhenti oleh suara bel sekolah yang menandakan jam pulang telah tiba.
"Baiklah anak-anak, kita sudahi pelajaran kita hari ini," lanjut Bu Lina sebelum berjalan menuju mejanya.
Setelah berdoa bersama, para murid diizinkan pulang. Arya merasa lesu, tidak bersemangat saat memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. Ridho yang memperhatikannya dari belakang segera menghampirinya, diikuti oleh Putra.
"Hey, lesu amat, kamu baik-baik saja?" tanya Ridho, menepuk pundak Arya.
"Ya, baik, semua aman," jawab Arya dengan tenang sambil menyandang tasnya.
"Beneran nih?" sambung Putra yang berdiri di sebelah Arya.
Arya tidak ingin terlihat cemas di depan teman-temannya, ia pun menjawab, "Iya, aman kok. Aku ke kantor dulu ya."
"Mau ditemani?" tanya Putra saat Arya lewat di depannya.
Dengan sedikit melambat, Arya menolak, "Gak usah, aku pergi dulu."
"Ya udah, hati-hati ya," seru Putra.
Sesaat setelah melewati pintu kelas, langkah Arya terhenti. Ia menoleh ke arah Ridho dan Putra yang masih di belakang. "Oh ya, kalian pulang aja duluan. Aku bakal pulang bareng Ayah nanti."
"Iya, santai aja," jawab Ridho.
Arya melanjutkan langkahnya, melewati ubin keramik teras kelas, menuruni tiga anak tangga kecil, hingga sampai di sebuah koridor menuju kantor. Langkahnya semakin berat, terutama setelah ia melihat sosok yang tidak ia harapkan yaitu ibunya, bukan ayahnya.
"Ibu?" Arya bergumam, terkejut. "Duh, sial," lanjutnya, menoleh ke berbagai arah, mencoba mencari sosok ayahnya. Namun, ia tahu bahwa ia tak bisa lari dari kenyataan ini. Dengan langkah gontai, ia akhirnya memasuki kantor kepala sekolah.
Suasana di dalam kantor terasa mencekam, setiap detik terasa lambat seiring dengan langkah kakinya di lantai keramik yang dingin. Bu Erin menoleh kearah Arya yang baru saja masuk. Sesaat, Arya merasakan ketakutan yang aneh. Namun, ketika ibunya berbalik dan menatapnya, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan kemarahan seperti yang Arya bayangkan. Wajahnya tampak pucat, dan matanya merah, seolah baru saja menangis.
"Nak, kita perlu bicara," suara Bu Erin terdengar lembut tetapi tegas.
Arya hanya bisa mengangguk pelan. Ia masuk ke ruangan kepala sekolah, di mana Pak Hartono, kepala sekolah, duduk di belakang meja dengan wajah serius.
"Arya, silakan duduk," kata Pak Hartono, menunjuk ke kursi di depan meja.
Arya duduk dengan cemas, pandangannya bergantian antara kepala sekolah dan ibunya. Bu Erin menarik kursi dan duduk di sebelahnya, menyandarkan tangan di meja dan menggenggam erat tangan Arya. Sentuhan tangan ibunya membuat Arya sedikit tenang, tetapi jantungnya tetap berdetak kencang.
"Arya, saya sudah berbicara dengan ibumu tentang absensimu yang sering dan beberapa masalah disiplin lainnya," kata Pak Hartono dengan suara yang berat. "Tapi hari ini, ada hal lain yang perlu kami sampaikan."
Arya menelan ludah, mencoba mempersiapkan diri untuk apa pun yang akan datang. Namun, tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk berita yang akan ia dengar.
"Ibu, ada apa?" tanya Arya dengan suara pelan.
Bu Erin mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Arya, tadi pagi, Ayah mengalami kecelakaan di jalan menuju ke sini. Dia tidak bisa datang karena... karena..." suara Bu Erin bergetar, dan ia berjuang untuk menahan air mata. "Karena Ayah sudah pergi, Nak."
Dunia Arya seakan runtuh di sekelilingnya. Kata-kata ibunya menghantamnya seperti palu yang menghancurkan segala sesuatu di dalam dirinya. "Ayah meninggal?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
Bu Erin mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Iya, Nak. Ayah sudah tiada."
Arya merasa seperti ditarik ke dalam pusaran kegelapan. Ia tidak bisa percaya dengan apa yang didengarnya. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak mungkin nyata. Tangan Bu Erin masih menggenggam tangannya erat, mencoba memberikan dukungan, tetapi Arya merasa seperti tenggelam.
Pak Hartono memberi mereka beberapa menit untuk memproses berita itu. "Saya turut berduka, Arya. Jika kamu butuh waktu atau bantuan, sekolah akan selalu mendukungmu."
Arya hanya bisa mengangguk. Kata-kata terasa tidak cukup untuk menggambarkan perasaan kosong dan putus asa yang menguasainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remove Me
RandomRemove Me adalah kisah tentang perjalanan menemukan diri sendiri, mengatasi rasa kehilangan, dan menghadapi kenyataan hidup. Dalam menghadapi tragedi yang mengejutkan dan pilihan yang sulit, Arya harus menemukan keberanian untuk berdamai dengan masa...