Re-Fiveteen

4 2 1
                                    

Kami berdua-pun menjalani hari-hari dengan hubungan yang ambigu itu. Memang, kami terlihat lebih dekat dari biasanya, dan pada awalnya, semuanya terasa menyenangkan. Arya dan aku sering menghabiskan waktu bersama, berbincang di kantin, belajar bersama di perpustakaan, atau sekadar berjalan-jalan di taman sekolah saat istirahat. Setiap detik bersamanya membuat hatiku berdebar, meskipun kami tak pernah benar-benar mendefinisikan apa yang sebenarnya terjadi di antara kami.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketidakpastian itu mulai menggerogoti pikiranku. Ada kalanya, ketika Arya tersenyum atau tertawa bersama teman-teman lain, terutama dengan para gadis, perasaan tak nyaman mulai muncul lagi di hatiku. Aku mulai mempertanyakan posisiku dalam hidupnya, meski aku tahu seharusnya aku percaya dengannya. Akan tetapi keraguan akan status ini tak bisa di pungkiri.

Aku pun mulai merasa terjebak dalam hubungan yang penuh ketidakpastian ini. Meski aku tahu bahwa Arya peduli padaku, ada kalanya aku merindukan sesuatu yang lebih, sebuah kepastian yang dapat membuatku merasa aman. Namun, aku juga takut kehilangan hubungan ini jika aku terlalu memaksakan sesuatu yang belum tentu diinginkan Arya.

Hari-hari pun berlalu dengan cepat, dan perasaan itu semakin dalam, sampai akhirnya aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apakah Arya merasakan hal yang sama? Ataukah hanya aku yang terus berharap lebih dari yang bisa diberikan oleh hubungan ini?

***

Sudah beberapa minggu sejak aku dan Arya mengungkapkan perasaan kami di taman itu. Hubungan kami terasa aneh, lebih dari teman, tapi bukan juga sepasang kekasih. Aku berusaha menerima keadaan ini, meski terkadang aku merasa ingin sesuatu yang lebih pasti.

Suatu sore, aku diundang ke acara ulang tahun Dinda, teman sekelasku. Acara itu diadakan di rumahnya yang cukup jauh dari pusat kota. Arya tidak bisa datang karena harus membantu keluarganya di rumah, tapi dia tahu aku akan pergi dan dia baik-baik saja dengan itu. Aku mengerti, Arya memang bukan tipe orang yang suka menghadiri acara ramai seperti itu.

Di sana, aku bertemu dengan banyak teman, termasuk Fadil, seorang teman lama yang sudah lama tidak aku temui. Sebenarnya Fadil tidak hanya teman sekolah, kami-nya dulu adalah tetangga, Ayah dan Ibuku juga begitu akrab dengan kedua orang tua fadil, dan kami adalah teman masa kecil, dulu dia memang selalu menjadi seorang yang pernah mengisi hari-hari ku, tetapi aku tak pernah merasa ada perasaan lebih tentangnya, lagi pula saat itu, aku masih terlalu dini, untuk memikirkan hal seperti itu.

"hei tunggu, kamu Sinta bukan?" Ucapnya, terlihat heran sambil menunjuk ke arahku.

Aku tersenyum, sedikit mengangguk. "Ya benar, Ini aku."

Ia tampak tersenyum lebar, menatapku dengan mata berbinar. "Wah, apa kabar?, lama tidak bertemu, dan kamu sangat terlihat sangat cantik sekarang."

"Terima kasih." Ucapku singkat, entah mengapa aku merasa gugup mendengarnya.

"Oh ya, kamu masih ingat aku-kan?" sambung-nya bertanya.

"Iya, tentu aku ingat, kamu The flash-kan?" Aku mencoba sedikit bercanda menanggapi, menunjuk kepadanya, lalu membuat kami berdua tertawa.

Ketika aku mengingat kembali pertemuanku dengan Fadil, ada satu kejadian yang selalu terlintas di benakku. Waktu itu, aku hampir dikejar oleh seekor anjing saat berjalan di depan rumah, mungkin usiaku baru sekitar sepuluh tahun. Aku berlari ketakutan sambil menangis, hampir mencapai pagar rumah ketika tiba-tiba Fadil muncul dengan kostum heroiknya, mirip seperti Flash dari komik DC. Dia langsung menghadang anjing yang mengejarku.

Dengan gaya percaya diri, Fadil menoleh sekilas ke arahku, tangannya bertengger di pinggul. "Hei, gadis kecil, cepat masuk ke rumah. Biar aku yang urus penjahat ini," katanya.

Aku hanya bisa menatapnya dengan bingung. Ada yang terasa aneh, tapi sekaligus lucu. Dengan ragu-ragu, aku mengucapkan terima kasih dan berlari masuk ke rumah. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya antara Fadil dan "penjahat" itu.

Kami dulu cukup dekat, tapi kemudian terpisah karena kami masuk di SMA yang berbeda. Bertemu lagi dengannya membuatku merasa nostalgia, dan kami mengobrol lama tentang banyak hal. Aku tak menyangka, tawa dan obrolan kami menarik perhatian beberapa teman lain. Mereka mulai menggoda kami, mengatakan betapa cocoknya kami berdua.

Aku hanya menertawakan candaan itu, tidak memikirkannya terlalu serius. Tapi kemudian, Lisa, teman kami yang selalu membawa kamera ke mana-mana, memotret momen kami sedang tertawa bersama. Setelah acara selesai, Lisa memberiku foto itu sebagai kenang-kenangan.

Aku hanya tersenyum dan menerima foto itu. Tapi malam itu, saat aku baru pulang dan sedang bersantai di rumah, ponselku berbunyi. Sebuah pesan BBM dari Arya.

"Hei, sudah pulang? Bagaimana acaranya?"

Aku membalas dengan ceria, "Sudah, acaranya seru! Aku ketemu teman lama juga. Kamu ngapain di rumah?"

Tak lama kemudian, Arya membalas lagi, tapi ada sesuatu yang aneh di balik pesannya. "Aku tadi bantu-bantu di rumah. Teman lama? Siapa?"

Aku menjelaskan bahwa aku bertemu dengan Fadil, seorang teman lama yang sudah lama tidak aku temui. Tidak ada balasan setelah itu. Rasanya ada yang ganjil, tapi aku berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu jauh.

Beberapa hari kemudian, saat aku dan Arya sedang berjalan pulang bersama, kami bertemu Lisa di jalan. Dengan ceria, Lisa menyapaku dan tanpa sengaja menyebut soal foto yang diambilnya di acara ulang tahun itu. "Oh ya, Sinta, sudah kamu lihat foto kemarin? Cocok banget deh kamu sama Fadil!" katanya sambil tertawa.

Saat itu, aku melihat ekspresi Arya berubah. Dia tersenyum, tapi senyumnya tampak kaku. Dia tidak banyak bicara setelah itu, hanya terus berjalan di sampingku dalam diam. Aku merasakan sesuatu yang tidak beres, tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa.

Malam harinya, aku menerima pesan BBM dari Arya lagi. Kali ini, nadanya berbeda, terdengar lebih serius, dan terasa penuh kecemasan.

"Sinta, aku boleh tanya sesuatu?"

Hatiku langsung terasa berat membaca pesan itu. Aku segera meneleponnya, merasa lebih baik bicara langsung daripada melalui pesan.

"Malam Arya, Iya ada apa?"

Ketika Arya mengangkat telepon, suaranya terdengar ragu. "Malam Juga Sin, aku mau nanya kamu sudah kenal Fadil udah lama ya? sedekat apa kalian? aku cuma ingin tahu lebih tentang hubungan kalian berdua, atau dia mantan kamu dulu?."

Mendengar itu, aku merasa perasaan Arya ternyata lebih dalam dari yang selama ini aku kira, aku tahu dia cemburu, dan ini untuk pertama kalinya dia tampak sejujur itu, dengan suara tenang aku mencoba meluruskan. "Arya," kataku pelan, "Aku hanya menganggap Fadil sebagai teman. Kamu satu-satunya yang aku suka. Aku gak punya perasaan apa-apa sama dia."

Ada keheningan di ujung telepon sebelum Arya akhirnya bicara lagi, suaranya lebih lembut namun tegas. "Sinta, aku sadar selama ini aku sudah membuatmu bingung dengan ketidakpastian ini. Aku pikir dengan hubungan seperti ini, aku bisa melindungi kita dari rasa sakit, tapi ternyata aku salah. Perasaan cemburu ini membuat aku sadar bahwa aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak mau melihat suatu hari, perasaan-mu itu akan berubah, dan pergi bersama orang lain."

Aku mendengar ketulusan di suaranya dan hatiku mulai berdebar. "Aku ingin kita benar-benar bersama," lanjutnya. "Aku tahu mungkin ini bukan moment yang tepat, dan bicara melalui telpon seperti ini bukan sesuatu yang terlihat berani bagiku, tetapi aku tidak mau menunggu sampai besok atau nanti hingga bertemu denganmu, jadi aku akan ku katakan sekarang. Kamu mau jadi pacarku?"

Aku hampir menangis mendengar kata-kata itu, tapi kali ini air mata bahagia. "Tentu saja aku mau, Arya. Aku juga ingin kita benar-benar bersama."

Malam itu, Arya dan aku akhirnya resmi menjadi pasangan. Cemburu yang awalnya membuatnya ragu, justru menjadi pemicu bagi Arya untuk menyadari betapa ia tidak ingin kehilangan aku. Akhirnya, hubungan kami yang ambigu itu berubah menjadi sebuah komitmen yang lebih pasti, sebuah langkah yang kami berdua sudah lama nantikan.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang