Dengan sikap tenang yang terlatih, aku berusaha menyembunyikan kegelisahan yang berputar di benakku. Berdiri di depan meja resepsionis, detak jantungku semakin cepat, namun aku berjuang menjaga wajahku tetap tanpa ekspresi. Resepsionis itu sedang berbicara di telepon, melirik ke arahku sesekali, seakan berusaha menembus dinding ketenangan yang aku bangun. Pandangannya terasa menyelidik, mencari celah dalam penampilanku yang tenang. Untuk sejenak, aku merasa dia bisa melihat badai kegelisahan yang tersembunyi di pikiranku, namun dia segera kembali fokus pada telepon, berbicara dengan suara rendah, hampir berbisik, seolah pembicaraan itu menyimpan rahasia besar.
Mataku menjelajah ruangan, mencari sesuatu yang bisa menenangkan pikiranku. Setiap sudut tampak megah, dengan interior mewah yang dulu pernah aku impikan. Pilar-pilar tinggi berlapis marmer, lampu gantung kristal yang berkilauan, dan lantai mengilap yang memantulkan setiap langkah, semua kemewahan yang dulu kuinginkan, kini terasa asing. Kilauan kristal dan kilap marmer kehilangan daya pikatnya, seperti gema kosong di tengah kekacauan batinku.
Aku mencoba menenangkan diri dengan menggenggam tepi kursi di ruang tunggu, berharap kekerasan tekstur kayunya bisa memberikan sedikit kenyamanan. Namun, kursi empuk dan meja kaca yang dihiasi majalah-majalah bisnis ternama, yang biasanya membuatku merasa berkuasa, kini malah membuatku merasa terasing. Aku merasa kecil di antara keanggunan ini, dan kepercayaan diriku perlahan terkikis. Setiap detik yang berlalu menambah beban di dadaku, membuatku sadar bahwa mungkin aku tak lagi layak berada di sini.
Dalam kepanikan yang mulai merayap, aku berusaha memusatkan pikiran pada hal-hal positif. "Mungkin masih ada kesempatan," bisikku dalam hati, meski suara itu terdengar lemah dan tak meyakinkan. Jemariku mencengkeram sisi kursi, menahan aliran ketakutan yang menggerogoti. Aku berharap resepsionis itu akan membawa kabar baik yang bisa mengubah situasi ini. Tapi di lubuk hatiku, aku tahu bahwa apa pun yang akan dikatakannya nanti, aku harus siap menghadapi kenyataan, entah itu baik atau buruk.
Resepsionis menutup telepon dan menatapku dengan perhatian penuh. Bibirnya perlahan merekah membentuk senyuman yang entah kenapa justru membuat kegelisahanku semakin menjadi. Aku tanpa sadar menghela napas, mencoba menenangkan diri.
"Mohon maaf, Pak," katanya dengan nada sopan tapi tegas. "Saat ini, Pak Herman tidak bisa bertemu karena jadwalnya sangat padat. Selain itu, beliau juga sudah menemukan kandidat baru. Mohon maaf sekali lagi, Pak, dan terima kasih sudah berkunjung."
Kata-katanya meluncur lembut, tapi dampaknya seperti palu yang menghantam dadaku. Dunia di sekitarku seolah terhenti sejenak. Aku mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakannya, namun kenyataan itu begitu pahit hingga sulit untuk diterima. Semua harapanku runtuh dalam sekejap, dan untuk sesaat, aku hanya bisa berdiri di sana, merasa kosong.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikiran yang tercerai-berai. Tubuhku bergetar halus, dan suasana di ruangan itu tiba-tiba terasa mencekam. Bibirku terasa kaku saat aku berusaha tersenyum, meski terasa seperti upaya yang sia-sia. "Oh begitu ya, Kak. Terima kasih, saya pamit dulu ya," ucapku lirih, berusaha menahan suara agar tetap tenang, meski kecewa itu sulit untuk kusembunyikan.
Dengan langkah gontai, aku meninggalkan meja resepsionis, menunduk sambil menatap kosong ke arah pintu keluar. Setiap langkahku terasa berat, seolah dunia di luar terus bergerak maju sementara aku terjebak dalam kekosongan ini. Semua rencana yang sudah kuatur seakan runtuh, dan jalan di depanku terasa kabur, tertutup oleh kabut tebal yang menyelimuti setiap harapan yang pernah ada.
Aku melangkah keluar dari gedung dengan perasaan hampa. Udara sore yang seharusnya menyejukkan, kini terasa hambar dan tidak mampu menghapus rasa kecewa yang baru saja menghantamku. Tanpa arah, aku berjalan hingga menemukan sebuah halte di pinggir jalan. Tanpa berpikir panjang, aku duduk di sana, menatap kosong ke depan, mencoba memahami kenyataan pahit yang baru saja kuterima.
"Kandidat baru," kata-kata itu terus terngiang di kepalaku, membuat dadaku semakin sesak. Aku berusaha menenangkan diri, namun pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi. Semua rencana yang telah kususun kini seolah runtuh dalam sekejap.
Aku terdiam, membiarkan diriku tenggelam dalam lamunan. Suara kendaraan yang berlalu-lalang menjadi latar belakang samar-samar. Tiba-tiba, dari sudut mataku, aku melihat sebuah mobil berhenti di seberang jalan. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan, tapi saat pintu mobil terbuka dan seseorang keluar, hatiku terhentak.
"Dion!" Nama itu terucap spontan seolah berteriak di dalam hatiku.
Aku tertegun, berusaha memastikan apa yang kulihat. Wajah itu tidak asing bagiku. Dion, seseorang dari masa lalu, seorang yang dulu pernah menjadi musuh saat SMP. Kami pernah terlibat perkelahian yang tak pernah benar-benar kulupakan. Lalu di SMA, pertemuan kembali membawa ketegangan yang sama, dan setelah itu, aku kira dia telah hilang dari hidupku untuk selamanya. Tapi sekarang, dia berdiri di sana, di depanku.
Perasaanku campur aduk. Bagaimana dia bisa berada di sini? Apakah ini hanya kebetulan, atau ini adalah balasan untuk semua yang pernah terjadi? Mataku terpaku padanya, dan semakin terkejut saat melihat siapa yang berdiri di sampingnya. Pak Herman. Keduanya berbicara dengan akrab, senyum di wajah mereka membuat perasaanku semakin tidak menentu.
Apakah dia kandidat baru itu? Pikiran itu langsung muncul di benakku, dan seketika, rasa cemas mulai merayap. Kenapa harus dia? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
Aku terus memperhatikan mereka dari kejauhan, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dion terlihat tenang dan percaya diri, mengenakan setelan yang sama persis seperti yang aku kenakan sebelumnya, seolah dia adalah bayangan diriku sendiri yang bergerak dengan kemantapan yang kini hilang dari diriku. Tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang membuatku gelisah, firasat buruk yang menyesakkan dada, seakan bayangan itu akan menyusul dan menggantikan tempatku di dunia ini.
Tiba-tiba Dion melirik ke arahku, dan untuk sesaat, mata kami bertemu. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tidak tahu apakah dia mengenaliku atau tidak, tapi tatapan itu membuatku merasa ada sesuatu di baliknya. Namun, secepat itu pula dia mengalihkan pandangannya, seolah aku bukan siapa-siapa.
Aku merasa terasing, bingung. Apakah dia sungguh tidak mengenaliku, atau dia memilih untuk tidak peduli? Pikiran-pikiran itu membuatku semakin tak nyaman. Sebelum aku bisa mencari jawabannya, mereka sudah kembali masuk ke dalam gedung, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab.
Hari ini terasa seperti yang terburuk dalam hidupku. Kegagalan yang begitu menghancurkan menjadi noda pertama dalam buku karir yang baru saja kubuka. Sulit bagiku menerima kenyataan ini, bagaimana sesuatu yang tampak sepele di pagi hari bisa begitu cepat meruntuhkan segalanya. Rasanya aku ingin sekali bisa memutar waktu, mengulang kembali momen-momen itu, berharap bisa menghindari kesalahan yang kini menghantuiku.
Aku hanya bisa duduk di sana, menatap kosong ke arah pintu gedung yang baru saja mereka masuki. Perasaan campur aduk di dalam diriku semakin dalam. Rasa kesal dan kecewa bercampur menjadi satu, memaksaku bangkit dari tempat duduk yang terasa semakin tidak nyaman. Aku berjalan tanpa arah, mencari angkutan umum yang akan membawaku pulang, menuju rumah, menuju tempat di mana aku bisa merenung dan mencoba memahami semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remove Me
AléatoireRemove Me adalah kisah tentang perjalanan menemukan diri sendiri, mengatasi rasa kehilangan, dan menghadapi kenyataan hidup. Dalam menghadapi tragedi yang mengejutkan dan pilihan yang sulit, Arya harus menemukan keberanian untuk berdamai dengan masa...