Re-Eighteen

2 1 0
                                    

Malam itu begitu hening, seperti alam ikut menjaga rahasia yang ingin segera kuungkapkan. Cahaya bulan bersinar terang, berkilauan di antara ribuan bintang yang tersebar di langit. Setelah hampir dua tahun menjalani hubungan jarak jauh, akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan Sinta.

Siang tadi, aku kembali ke rumah, dan rasanya seperti masuk ke dalam mesin waktu. Rumah itu tidak berubah; masih sama seperti ketika aku meninggalkannya saat setelah aku lulus kuliah dulu. Setiap sudutnya menyimpan kenangan, tetapi juga menimbulkan perasaan asing yang membingungkan. Seperti baru kemarin aku menghabiskan liburan di rumah nenek, dan sekarang aku kembali dengan beban yang sulit untuk dibagi.

Malam ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang berat di dadaku, sesuatu yang selama ini berusaha kutahan, namun kini tak bisa lagi kupendam. Sesuatu yang akan menyakiti Sinta, dan itu membuatku gelisah.

Aku menunggu di taman kota, tempat yang penuh kenangan bagi kami. Angin malam yang sejuk menemaniku berkeliling taman, mencoba mengusir kegelisahan yang semakin mendera. Suasana taman yang biasanya memberikan kedamaian, kini tak mampu menenangkan hati yang berkecamuk.

Dari kejauhan, aku melihatnya datang. Sinta, seperti biasa, tampak anggun dengan cardigan abu-abu lembut yang melambai di setiap langkahnya, berpadu dengan gaun bermotif bunga yang menambah pesonanya. Rambutnya yang terurai berkilau di bawah sinar bulan, sementara anting-anting sederhana yang ia kenakan berkilauan lembut, menambah kesan elegan. Senyumnya hangat, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku yakin bahwa dia juga merasakan keganjilan malam ini.

Ketika dia mendekat, senyum itu semakin melebar, dan Sinta berlari kecil ke arahku. Begitu sampai, dia langsung memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan. "Arya, aku merindukanmu," katanya dengan suara yang bergetar, penuh kerinduan yang terpendam. Pelukannya hangat, memberikan rasa nyaman yang sudah lama kurindukan, namun juga membawa beban yang semakin berat di hatiku.

Kami duduk di bangku favorit, di bawah pohon besar yang rindang. Suara gemericik air dari air mancur di dekatnya biasanya membuat suasana lebih tenang, tetapi malam ini, semuanya terasa berbeda. Dalam diam, aku menatap Sinta, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan yang kutahu akan mematahkan hatinya.

"Sinta," suaraku hampir tidak terdengar, penuh dengan keraguan, "ada sesuatu yang harus aku sampaikan."

Dia menatapku, matanya penuh dengan tanda tanya. "Ya, ada apa, sayang?"

Aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatan yang selama ini aku rindukan. Namun, genggaman itu terasa rapuh, seolah bisa pecah kapan saja. "Aku... aku merasa hubungan kita semakin sulit. Beban hidupku semakin berat, dan aku takut tidak bisa mengimbanginya. Aku tidak ingin kamu terbebani oleh semua masalahku."

Sinta terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca, berusaha memahami maksudku. "Jadi... kamu tak ingin lagi bersamaku? Apakah aku hanya beban bagimu?"

Pertanyaan itu menusuk hatiku. Aku mengalihkan pandangan, tidak sanggup melihat rasa sakit di matanya. "Bukan begitu, Sinta. Aku tahu kamu sangat mencintaiku, tapi aku merasa tidak adil jika terus menyeretmu dalam kesulitanku. Dulu, cinta kita bisa mengatasi segalanya, tapi sekarang aku sadar bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuat kita bahagia."

Sinta menarik tangannya dari genggamanku, menatapku dengan sorot mata yang penuh kekecewaan dan luka. "Jadi, kamu merasa aku adalah beban?" suaranya bergetar, antara marah dan sedih, sulit baginya untuk menerima kata-kataku.

Aku merasakan rasa bersalah membuncah di dalam dada. "Bukan begitu, Sinta. Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku takut, dengan keadaanku sekarang, aku tidak bisa memberikanmu kehidupan yang layak. Kamu pantas mendapatkan lebih dari ini, lebih dari yang bisa aku berikan."

Air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu tidak bisa memutuskan ini sendirian, Arya. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi tentang kita."

Suaranya pecah, dan hatiku ikut hancur mendengarnya. Melihatnya terluka seperti ini adalah hal terakhir yang kuinginkan. Aku tahu aku seharusnya tidak melakukan ini, tapi aku tidak bisa membiarkannya hidup dalam ketidakpastian.

Sinta berdiri, menatapku dengan mata yang kini dipenuhi kemarahan dan kekecewaan. "Kalau begitu, terima kasih sudah membuat keputusan untuk kita berdua," katanya dengan nada yang dingin. Lalu, tanpa menunggu jawabanku, dia berbalik dan pergi, langkahnya cepat dan penuh dengan emosi yang tertahan.

Aku hanya bisa melihatnya pergi, semakin jauh hingga akhirnya menghilang di balik bayangan pepohonan. Keheningan yang tersisa setelah kepergiannya seolah menenggelamkanku dalam rasa bersalah dan kesepian yang dalam. Aku tahu, melepaskan Sinta adalah keputusan yang paling sulit yang pernah aku buat, tapi aku juga tahu, ini adalah yang terbaik untuk kami berdua.

Beberapa tahun berlalu sejak malam itu, dan kini aku terbaring di ranjang sempit di kamar kosku. Tempat ini menjadi saksi bisu kehidupan monoton yang aku jalani setiap hari. Pekerjaanku sebagai buruh pabrik membuatku tenggelam dalam rutinitas tanpa akhir. Setiap pagi, aku bangun sebelum matahari terbit, mengenakan seragam yang sudah lusuh, dan berangkat ke pabrik di pinggiran kota.

Pekerjaan di pabrik itu melelahkan. Suara mesin yang tidak pernah berhenti, bau karet yang menyengat, dan ritme kerja yang membosankan membuat tubuhku terasa remuk setiap malam. Gaji yang kuperoleh hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Namun, pekerjaan ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup.

Malam ini, setelah seharian bekerja, aku terbaring di atas ranjangku yang keras, menatap langit-langit kamar yang dipenuhi bayangan kenangan. Dalam keheningan malam, bayangan Sinta kembali hadir di benakku. Senyumnya, tawanya, dan tatapan kecewanya saat kami berpisah terus menghantuiku.

Aku tahu keputusan yang kuambil waktu itu adalah yang terbaik, namun ada kalanya penyesalan menghampiriku dengan kejam. Aku sering bertanya-tanya, bagaimana jika aku tetap bersamanya? Apakah hidupku akan berbeda? Tapi kenyataan hidup sebagai buruh pabrik membuatku sadar bahwa mungkin aku tak pernah bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya.

Dalam keheningan malam, suara mesin-mesin pabrik yang beroperasi di kejauhan terdengar seperti simfoni kesepian yang terus-menerus menghantui. Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir bayangan Sinta dari pikiranku. Namun, kenangan itu tetap ada, seperti bayangan yang selalu mengikuti setiap langkahku.

Aku melihat diriku kini, seorang buruh pabrik yang bekerja keras hanya untuk bertahan hidup. Aku merindukan masa-masa sekolah, saat harapan dan mimpi-mimpi masih begitu tinggi. Namun, hidup telah membawa aku ke jalan yang berbeda. Aku merasa terjebak dalam rutinitas yang tak pernah berubah, dan semakin hari aku semakin pesimis akan masa depan.

Malam itu, di kamar kos yang sempit dan dingin, aku menyadari bahwa kebahagiaan mungkin adalah sesuatu yang takkan pernah kucapai. Kenangan masa lalu hanya menambah kepahitan dalam hidup yang kujalani sekarang. Dalam keheningan malam, aku menatap langit-langit kamar, berharap waktu akan membawa akhir yang lebih baik, meskipun dalam hatiku, aku tahu harapan itu semakin pudar.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang