Hari itu benar-benar mengubah segalanya. Setiap langkah terasa berat, seolah gravitasi tiba-tiba meningkat, menahan tubuhku dalam setiap gerakan. Kegagalan ini bukan sekadar kemunduran; ia adalah penghancuran total atas semua kerja keras dan pengorbanan yang kulakukan selama ini. Bertahun-tahun aku berjuang, bekerja keras, berharap semua itu akan berbuah manis dengan kesempatan yang adil. Namun, takdir seolah mengejekku, menghancurkan segalanya hanya dalam hitungan detik.
Aku terus bertanya pada diriku sendiri, "Kenapa? Bagaimana semuanya bisa runtuh hanya karena seember semen yang jatuh?" Kejadian itu begitu absurd, tetapi dampaknya sangat nyata. Semua usahaku, semua pengorbananku, lenyap begitu saja karena insiden kecil. Dan yang lebih menyakitkan, mengapa Dion yang justru mendapat posisi itu? Posisi yang seharusnya menjadi milikku. Dunia terasa begitu kejam, penuh ironi yang pahit.
Bayangan kegagalan ini menghantuiku, bukan hanya sebagai masa lalu yang kelam, tetapi sebagai pengingat bahwa aku kini tak berdaya. Pak Herman, orang yang selama ini kuandalkan untuk melihat potensiku, justru memilih Dion. Ia, yang seharusnya memberiku kesempatan, malah meruntuhkan semua harapan yang susah payah kubangun. Pikiran-pikiran itu terus mengganggu sepanjang perjalanan pulang, menggema di setiap sudut otakku. Bahkan sesaknya angkutan umum yang kunaiki tidak mampu menenggelamkan kekacauan di kepalaku.
Setibanya di rumah, suasananya mencerminkan perasaanku—hampa, sepi, penuh kehampaan. Aku duduk di sofa, membiarkan tubuhku tenggelam dalam kelelahan, mencoba memahami apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Aku memandang dinding kosong, berharap menemukan jawaban, tetapi yang kudapat hanyalah kebuntuan. Dunia di luar terus bergerak, sementara aku merasa terjebak, tertinggal dalam ruang hampa yang tak berpihak padaku.
Bagaimana ini bisa terjadi begitu cepat? Aku, yang selama ini dipenuhi ambisi dan keyakinan, kini merasa begitu kecil dan tak berdaya. Malam itu, dalam keheningan yang mencekam, aku mulai mempertanyakan segalanya. Apakah selama ini aku terlalu percaya diri? Apakah ini peringatan bahwa hidup tidak pernah berjalan sesuai rencana, sekeras apa pun aku berusaha?
Pikiran-pikiran itu terus berputar, menyeretku ke dalam pusaran keraguan yang semakin dalam. Aku mulai meragukan kemampuan dan nilai diriku sendiri. Apakah semua perjuanganku sia-sia? Apakah semua yang kubangun dengan susah payah hanya akan berakhir dengan kekecewaan?
Aku duduk di sana, dalam kegelapan malam, tanpa jawaban. Keraguan dan kekecewaan menyelimuti pikiranku, tetapi jauh di lubuk hati, ada secercah kecil yang menolak menyerah. Saat itu, rasa sakit dan kebingungan terlalu mendominasi untuk melihat harapan. Yang tersisa hanyalah rasa hampa dan kesadaran pahit bahwa segalanya telah berubah.
Ingatan tentang masa lalu tiba-tiba menghampiriku, membawa kembali kenangan masa-masa di mana aku bahkan tidak peduli pada hidupku. Dulu, aku bukan siapa-siapa, hanya seorang remaja malas yang menganggap sekolah sebagai hal yang membosankan. Buku dan prestasi tidak pernah menarik perhatianku. Setiap kali aku membuka buku pelajaran, rasa kantuk seketika menyerang. Jika ada satu hal yang membuatku menonjol saat itu, mungkin hanyalah kenakalanku.
Meski hidup dalam kemalasan, aku sadar bahwa semua yang kulakukan salah. Aku tahu aku harus berubah, tetapi menyukai sesuatu yang tidak kumengerti bukanlah hal yang mudah. Hingga suatu hari, hidupku berubah drastis. Kenakalanku, yang selama ini terasa menyenangkan, tiba-tiba berubah menjadi belati yang merenggut seseorang yang paling kucintai.
Insiden itu terjadi begitu cepat. Kenakalan yang selama ini kuanggap main-main berujung pada kehilangan Ayahku, dan aku harus membayar mahal atas perbuatanku. Aku masih ingat perasaan sakit dan penyesalan yang menyesakkan dada ketika aku menyadari betapa besar dampak dari tindakan bodohku. Hari itu, di tengah rasa kehilangan yang mendalam, aku bersumpah untuk berubah. Aku bertekad meninggalkan semua kemalasan dan kenakalan yang dulu kuanggap hiburan. Meski perjalanan itu tidak mudah, kehilangan Ayah menjadi cambuk yang mendorongku untuk terus maju. Aku tahu aku tidak bisa memperbaiki masa lalu, tetapi setidaknya aku bisa berusaha membangun masa depan yang lebih baik.
Dan itulah yang kulakukan. Aku mulai berusaha keras, belajar dengan giat, dan perlahan mengubah kebiasaan burukku. Aku mulai tertarik pada buku-buku yang dulu kubenci. Aku menjadi siswa yang aktif, selalu mendengarkan guru dengan seksama, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, dan akhirnya mendapatkan beasiswa penuh dari SMP hingga kuliah berkat usahaku. Aku merasa cukup bangga kala itu, bahkan tak perlu meminta apapun pada ibu.
Namun, kini aku merasa tak lagi memiliki pijakan untuk bertahan, seperti makhluk kecil tak berarti. Seolah semua kerja keras yang telah kulakukan hancur begitu saja. Kegagalan ini, yang dipicu oleh kejadian sepele, meruntuhkan semua yang telah kubangun dengan susah payah.
Apakah ini karma atas masa laluku? Apakah takdir sedang menghukumku atas apa yang aku lakukan kepada Ibu? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui pikiranku, membuatku semakin terpuruk.
Aku mendengus, menghela napas dalam-dalam. Tiba-tiba ponselku bergetar, membuyarkan lamunan. Aku meraihnya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab serta pesan masuk dari Sinta. Melihat namanya membuat dadaku semakin sesak. Perasaan lain muncul-aku tak yakin lagi pada diriku sendiri, apalagi pada hubungan kami. Rasa percaya diri yang dulu kukira tak tergoyahkan kini sirna. Apakah aku harus jujur padanya? Tentang betapa hancurnya aku sekarang?
Akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon Sinta kembali. Dering pertama membuat jantungku berdetak lebih cepat, dan pada dering ketiga, Sinta menjawab dengan suara ceria yang selalu aku tunggu.
"Hey, Arya! Kamu ke mana aja? Aku udah telpon beberapa kali, loh," suaranya penuh antusiasme.
"Oh, iya, maaf," jawabku dengan nada pelan. "Aku lagi... sibuk tadi."
"Aku ngerti," katanya. "Gimana, gimana? Tadi kamu ketemu Pak Herman kan? Lancar, kan?"
Aku terdiam sejenak. Perasaan pahit merayapi tenggorokanku. Ada dorongan untuk berkata jujur, untuk menceritakan semuanya, tapi rasa malu dan takut akan penilaian Sinta menahan kata-kata itu keluar.
"Ya, lancar kok," bohongku akhirnya, memaksakan nada suara tetap ceria. "Aku... diterima."
"Oh, Arya! Aku tahu kamu pasti bisa!" serunya, penuh semangat. "Aku bangga banget sama kamu!"
Tawaku terdengar hambar di telingaku sendiri. "Iya, makasih."
Kami berbicara sebentar, lebih banyak Sinta yang berceloteh tentang rencana kami ke depannya, sementara aku hanya mendengarkan, menjawab dengan kata-kata pendek yang tidak terlalu berarti. Setelah menutup telepon, aku melemparkan ponsel ke meja dengan rasa frustrasi yang membuncah di dadaku.
Kenapa aku harus berbohong? pikirku, amarah mulai merayapi pikiranku. Sekarang, selain rasa kecewa pada diriku sendiri, aku juga harus menghadapi rasa bersalah karena membohongi Sinta. Rasa kesal semakin meresap, bukan hanya pada dunia yang tak adil, tapi pada diriku sendiri.
Aku duduk diam dalam gelap, menatap kosong ke arah dinding bercat putih dari sofa yang aku duduki, mencari setitik cahaya di tengah kekacauan ini. Meskipun aku tahu bahwa saat ini aku tidak bisa mengubah apa pun, semuanya terasa mustahil untuk di lakukan. Dan jika ada yang benar-benar aku harapkan, Ialah memutar waktu ini kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remove Me
RandomRemove Me adalah kisah tentang perjalanan menemukan diri sendiri, mengatasi rasa kehilangan, dan menghadapi kenyataan hidup. Dalam menghadapi tragedi yang mengejutkan dan pilihan yang sulit, Arya harus menemukan keberanian untuk berdamai dengan masa...