Re-Five

73 28 39
                                    

***

Seminggu telah berlalu, namun itu belum cukup bagi Arya untuk melupakan kehilangan sosok ayahnya. Ia masih bisa membayangkan ayahnya menonton di ruang tengah saat ia keluar dari kamar pada malam hari. Senyuman ayahnya setiap pagi di meja makan, sambil menggenggam koran, masih jelas terbayang di benaknya. Hal itu membuat Arya selalu menyesali pertengkarannya dengan Dion. Satu kalimat yang terus terucap di pikirannya setiap kali ia mengingat hari itu adalah, "Andai saja hari itu ayah tak perlu ke sekolah, mungkin ia masih ada di sini." Penyesalannya begitu mendalam, namun Arya sadar bahwa masa lalu tak bisa diubah. Yang tersulit dari semua itu adalah menerima kenyataan apa adanya.

Di kamarnya yang sederhana dengan dinding berwarna kelabu, Arya berbaring di tempat tidurnya. Di depannya, ada meja belajar putih yang penuh dengan buku-buku. Sebuah lemari pakaian dua pintu dengan cat pernis berdiri di sudut ruangan. Di dinding, tergantung kalender tahun 2008. Di atas lemari kecil, yang tingginya sama dengan tempat tidurnya, sebuah ponsel qwerty menyala karena notifikasi pesan yang masuk, namun Arya menghiraukannya.

Malam itu, Arya tak bisa tidur, bukan hanya karena penyesalannya, tetapi karena terganggu oleh sesuatu yang lain. Setiap malam, ia selalu dihampiri oleh mimpi tentang seseorang. Namun, yang membuatnya heran, ia tak pernah bisa mengingat detail mimpi itu di pagi hari, meskipun ia yakin telah bermimpi. Satu hal yang pasti, orang dalam mimpinya itu bukan ayahnya.

Setelah beberapa kali mencoba memejamkan mata, mengubah posisi tidur, dan menarik bantal, rasa kantuknya hilang, digantikan oleh rasa penasaran dan kegelisahan. Di tengah kebuntuan, Arya men-decak kesal, lalu bangun dari kasur. Ia mengambil ponselnya, melihat jam dan pesan yang dia acuhkan, lalu meletakkannya kembali di tempat semula. Ia pun berjalan keluar, hingga tiba di depan pintu kamar ibunya.

"Tok! Tok!" Arya mengetuk pelan di pintu. "Bu...udah tidur?" ucapnya lembut di depan pintu yang tertutup itu.

Tanpa menunggu lama, pintu itu berderit. Dengan pintu setengah terbuka, ibunya menjawab, "Iya, nak, ada apa?" Suaranya lugas, namun matanya sembab, menunjukkan bahwa ia baru saja menangis.

Arya terdiam sejenak, menatap ibunya. Ia tahu bahwa ibunya juga merasakan kehilangan yang mendalam. Arya sadar bahwa dirinya bukan satu-satunya yang terpukul atas kehilangan ayahnya. Meski begitu, ia berusaha untuk tidak menangis di depan ibunya, meskipun pipinya bergetar saat melihat ayahnya, ia mampu menahannya hingga tiba di kamar, di mana ia akhirnya menangis sendiri.

"Boleh aku tidur dengan ibu malam ini?" Arya memalingkan wajahnya, merasa malu.

Mendengar permintaan Arya, wajah kusut Bu Erin tampak berseri, matanya yang sembab seolah bersinar. Rasa hangat menyelimuti dadanya, mengingatkan pada saat Arya masih kecil. Ia pun meraih dan merangkul kedua bahu Arya. "Oh, boleh sayang," ucapnya sambil membawanya masuk.

"Sini, di sebelah Ibu," lanjut ibunya, yang sudah duduk terlebih dahulu di tepi tempat tidur.

Arya berbaring di sebelah ibunya di atas seprai bercorak bunga pada dipan kayu yang bersih dan mengkilap. Di dinding, dalam bingkai-bingkai kayu dari berbagai ukuran, terpajang potret kebersamaan mereka. Di atas meja bundar di dekat pintu, terdapat vas bunga keramik berisi melati putih dan merah, yang dihiasi alas taplak dari kain beludru.

Ibunya duduk berselunjur sambil bersandar, mengelus rambut Arya dengan lembut, dari kening hingga menyentuh permukaan sarung bantal. Arya tidak berusaha memejamkan matanya, melainkan hanya memandangi langit-langit kamar, menikmati belaian kasih sayang dari ibunya. Ia teringat bahwa sudah cukup lama ia tidak merasakan kasih sayang ini, mungkin sejak kelas 5 SD, ketika ia meminta untuk tidur sendiri dan pindah kamar.

Di ingatannya, ia mengenang saat mereka bertiga tidur bersama ayah dan ibunya, dengan Arya berada di tengah. Ayahnya selalu bercerita dongeng sebelum tidur, seperti cerita Timun Mas, buaya dan si kancil, si kucing yang berguru pada harimau, dan masih banyak lagi. Cerita-cerita yang kini sudah kabur dari ingatannya. (Ibu selalu tertidur terlebih dahulu sebelum ayah selesai bercerita, sementara aku selalu meminta "lagi dan lagi" karena belum mengantuk. Lalu, ayah akan memaksaku untuk tidur, "Sudah tidur ya, Nak, besok sekolah," ucapnya sambil memelukku dan menarik selimut. Terkadang aku memaksa untuk melanjutkan cerita, terkadang aku hanya diam dan menuruti.) Namun sekarang, "sudahlah," pikir Arya sambil membungkam dirinya.

"Gak bisa tidur ya, Nak?" tanya ibunya lembut, melanjutkan elusan di rambut Arya.

"Iya, Bu."

"Kenapa, Nak? Kepikiran Ayahmu terus?"

"Gak cuma itu, Bu."

"Lalu, apa itu?"

"Beberapa hari ini, Arya setiap malam selalu bermimpi."

"Terus?" tanya ibunya, mendengarkan.

"Tapi, di pagi hari, Arya selalu lupa mimpi tentang apa tadi malam. Yang Arya ingat samar-samar, dia selalu tersenyum seperti menghibur. Wajahnya tidak bisa diingat dengan jelas, tapi yang pasti rambutnya panjang seperti perempuan. Aneh rasanya, Arya merasa kenal tapi gak ingat wajahnya. Arya takut kalau itu hantu, jadi gak berani tidur sendiri."

"Oh, jadi, ceritanya anak ibu lagi rindu sama pacarnya di sekolah?" goda ibunya dengan senyum.

Arya melempar pandang dengan wajah cemberut. "Gak, ah Bu, apa sih. Arya serius, lagi takut."

Ibunya tertawa sejenak, lalu menatap Arya dengan lebih serius. "Tapi, dia gak jahat, kan?"

"Gak, Bu."

"Wajahnya seram?"

"Gak, Bu. Dia gak seram, gak jahat juga, cuma Arya merasa takut karena terus mimpi yang sama tiap malam."

"Dengar ya, Nak, bagaimanapun mimpi tetaplah mimpi. Itu cuma sekadar halusinasi. Tapi kalau itu mimpi yang baik, berarti bagus. Bisa jadi, itu pacarmu di masa depan." Ibunya menyentuh hidung Arya dengan jari, sambil tersenyum ringan.

"Ah,  Ibu," ucap Arya cemberut.

Ibunya hanya tersenyum melihat wajah cemberut anaknya itu sambil menarik selimut untuk Arya. Ia membentangkannya rapi menutupi tubuh Arya. "Iya, ibu tahu. Tapi kan ibu ada di sini. Kalau nanti dia datang dan menjahili, ibu bakal kejar dia pakai sendok nasi."

"Pasti lari dia, Bu," sambung Arya, yang membuat mereka berdua tertawa.

Waktu pun berlalu, mereka bercerita tentang banyak hal, merasakan kebahagiaan bersama.

Malam dingin di bawah langit kelabu tanpa bintang itu terasa hangat, dipenuhi oleh rasa kasih sayang antara ibu dan anak. Arya yang tadi tak bisa tidur kini terlelap pulas dalam pelukan ibunya, yang juga merasa damai malam itu. Sejenak mereka terbebas dari rasa perih dan beban pikiran untuk memulai hidup baru yang lebih terjal di depan.

Di sisi lain, di sudut jalanan kota, seseorang dengan cemas menunggu balasan dari pesan-pesan yang ia kirim.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang