Re-Six

46 14 22
                                    

***

Aku tak begitu mengerti dari mana semua ini berawal, di mana selama ini penampilan adalah hal terakhir yang menjadi perhatian-ku. Namun, sejak hari itu, pandanganku berubah. Sebuah kata yang terdengar sepele, sebuah ucapan dengan nada biasa, entah mengapa bisa menjadi begitu berharga, menginspirasi pikiranku.

Aku masih ingat jelas apa yang dia katakan hari itu, bagaimana bibirnya berucap, tatapan matanya yang berbinar, yang lugas mengatakan, "Ternyata kamu sangat cantik." Diiringi senyum yang begitu khas, seolah senyuman itu hanya miliknya. Dan itu pertama kalinya dalam hidupku, orang lain selain ayah dan ibuku mengatakan kalau aku cantik.

Semua ini terjadi pada siang hari di sekolah. Waktu itu aku baru saja keluar dari laboratorium dan sedang berjalan sendiri membawa beberapa buku di tangan. Di sebuah lorong antara ruangan kelas, tanpa sengaja aku menabrak seseorang saat berbelok di sudut ruangan, lalu terjatuh karena menginjak tali sepatu yang terlepas. Sialnya, dia adalah salah satu dari dua orang yang tak ingin ku temui dan bermasalah dengannya. Orang itu bernama Dion.

Aku yang terjatuh, dengan menunduk dan tak berani menatap, mencoba meminta maaf sambil memungut buku-buku yang berserakan di lantai berubin itu.

"Kamu ngapain sih, nggak lihat jalan ya?" Dion berkata dengan nada kesal sambil menendang buku-buku yang berusaha kukumpulkan.

"Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja," kataku sambil melihat ke arahnya. Aku melihat salah satu kancingnya hilang dari kemeja, yang sepertinya tanpa ku sadari tertarik olehku saat terjatuh, hingga aku tahu jelas apa yang membuatnya benar-benar marah.

Perlahan mendekatiku dengan penuh amarah, matanya menyala, sontak membuatku menunduk menatap ke bawah, karena merasa takut dan malu. "Kalau mau ngomong, lihat orangnya!" ucapnya dengan kasar, lalu menarik salah satu kepang rambutku hingga terlepas dari pengikatnya.

"Lu kalau jalan pakai mata atau pakai hidung sih?" ucapnya sambil berjalan mengelilingiku. Langkahnya terhenti melihat sesuatu di wajahku. "Oh, ini nih yang bikin lo susah lihat jalan," ujarnya sambil menunjuk ke kacamata yang tertempel di wajahku, lalu dengan cepat melepaskannya. Aku hanya meringis menunduk dengan tangis yang berusaha ku tahan, berharap ini cepat berlalu.

Hingga tiba-tiba seseorang datang. "Woy, sini balikin," ucapnya meminta kacamata di tangan Dion.

"Siapa lu?"

"Sudah sini balikin, jangan banyak nanya, atau mau gelut di sini?"

Dion memberi kacamata itu dengan kesal. "Awas lu nanti," katanya sebelum berjalan pergi.

"Kamu nggak apa-apa kan? Ayo, aku bantu berdiri." Dia meraih tanganku dan membantuku berdiri, lalu dengan luwes merapikan poni rambutku yang berantakan.

Aku mencoba melihat sekilas dan kembali menunduk, menyadari bahwa dia adalah Arya, salah satu orang yang ingin ku hindari. Menurutku Ia sama seperti Dion, cukup terkenal di kalangan siswa, bukan karena prestasi atau kepintarannya melainkan kenakalannya. Jujur saja, aku tak begitu menyukainya, tetapi hari itu aku melihat hal lain dari dirinya.

"Iya nggak apa-apa, makasih."

"Ternyata kamu cantik juga ya, kalau begini," ucapnya sambil tersenyum sejenak lalu merasa canggung dan tampak kikuk. "Oh ya, ini," ujarnya sambil menyodorkan kacamata, yang kuambil dengan anggukan.

Dengan cepat ia melesat, ke arah beberapa buku yang masih berserakan dan mengumpulkan satu per satu lalu memberikannya padaku. "Ini, aku pergi dulu," ucapnya tampak gugup, yang kulihat dari tangan gemetar, dan matanya mencoba berpaling, sebelum Ia beranjak pergi.

Dengan pertemuan sederhana itu, aku memiliki tekad untuk berpenampilan berbeda di sekolah. Aku berusaha keras untuk mewujudkan-nya. Berhias bukanlah keahlianku, jadi aku meminta bantuan ibuku. Kala itu, aku menanyainya beberapa hal sepulang sekolah.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang