Di suatu pagi yang cerah, di auditorium kampus yang dipenuhi oleh keluarga, teman-teman, dan dosen, Arya berdiri di atas panggung dengan toga wisuda yang mempesona. Wajahnya berseri-seri, mencerminkan kebanggaan dan kebahagiaan atas pencapaian besar yang telah diraihnya.
Dengan suara penuh semangat, Arya memulai pidatonya, "Selamat pagi, dan selamat datang kepada semua yang hadir di hari istimewa ini. Hari di mana kami, para wisudawan dan wisudawati, merayakan perjalanan panjang dan penuh perjuangan di universitas ini."
Arya mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada dosen-dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama ini, dan kepada keluarga serta teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. "Tanpa kalian, kami tak akan bisa berdiri di sini hari ini," ucapnya dengan tulus, matanya menyapu seluruh auditorium.
"Kini, saat kami melangkah ke masa depan, kami membawa harapan dan impian besar. Kami siap menghadapi dunia nyata, membuktikan bahwa pendidikan kami di sini bukan hanya sekadar teori, tapi fondasi untuk menciptakan perubahan nyata," Arya melanjutkan dengan keyakinan yang tegas.
Di tengah tepuk tangan meriah, Arya mengakhiri pidatonya dengan kalimat yang menggugah semangat, "Mari kita jadikan ilmu yang kita dapatkan sebagai bekal untuk mengatasi setiap tantangan yang ada di depan."
Sorak-sorai dan tepuk tangan dari seluruh hadirin mengiringi langkah Arya turun dari panggung. Sebagai lulusan terbaik tahun ini, dia merasa bangga, namun ada sedikit kekosongan yang sulit dijelaskan di dalam hatinya.
Setelah acara di auditorium selesai, Arya merasa gerah dan memutuskan untuk keluar. Di luar, di tengah riuh rendah para wisudawan yang berfoto dan merayakan momen ini bersama keluarga, sebuah suara familiar terdengar di sampingnya.
"Selamat, Arya!" seru seorang gadis dengan toga, berlari menghampirinya dan memeluk Arya erat.
"Eh... Sinta, selamat juga," balas Arya dengan senyum lebar, membalas pelukan hangat dari wanita yang sudah enam tahun ini mengisi hidupnya.
"Kamu keren banget tadi di atas panggung. Tapi jadi takut deh, kalau kamu nanti direbut orang lain," ucap Sinta dengan nada bercanda, menggandeng tangan Arya erat-erat.
Arya tertawa kecil, "Bisa aja sih. hanya saja sejauh ini, gak ada yang cantik melebihi kamu." Tatapan Arya jatuh pada wajah Sinta yang mulai merona, matanya penuh kehangatan.
Wajah Sinta merona merah, matanya berbinar bahagia. "Hmmm... Makasih sayang," ucapnya pelan, tersipu.
Arya hanya diam, menikmati momen ini, menatap wajah Sinta yang terlihat sangat cantik di matanya. Ia merasa waktu seolah berhenti, dan hanya ada mereka berdua di dunia ini.
"Apa sih, liatin terus dari tadi," kata Sinta yang mulai merasa malu, sembari menunduk sedikit.
"Kamu cantik banget soalnya," jawab Arya singkat, penuh kejujuran.
Sinta tertawa kecil dan mengayun tangan mereka yang masih tergenggam. Namun, kebahagiaan mereka terputus oleh dering ponsel. Sinta mengangkatnya dan berbicara sebentar, lalu menatap Arya dengan sedikit kecewa. "Mama udah nunggu di depan. Aku harus pergi sekarang, boleh kan?"
Arya tersenyum dan mengangguk. "Boleh kok, hati-hati ya. Sampai nanti, sayang."
Sinta melangkah pergi, menoleh sekali lagi dan melambaikan tangan sebelum menghilang di tengah kerumunan. Arya masih berdiri di tempat yang sama, melihat ke arah Sinta menghilang, lalu mengalihkan pandangannya ke sekitar.
Di depan gedung auditorium, halaman luas kampus dipenuhi orang-orang yang berfoto dan merayakan. Warna-warni bunga dari papan ucapan selamat menyemarakkan suasana. Namun, Arya merasa sedikit kesepian di tengah keramaian itu.
"Hmmm, sudahlah," gumamnya pelan, memutuskan untuk berkeliling kampus yang telah menjadi rumahnya selama beberapa tahun terakhir. Di tengah kebahagiaan yang tampak di wajah para wisudawan lain yang berfoto bersama keluarga, Arya merasa ada yang kurang. Ibunya tak bisa hadir hari ini karena sakit, dan ayahnya telah tiada sejak beberapa tahun lalu. Namun, Arya mencoba untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam.
Di tengah lamunannya, Arya mendengar suara familiar lainnya. "Aryaaaa...!!!" Teriakan itu datang dari belakangnya. Arya menoleh dan melihat Putra dan Ridho, dua sahabatnya sejak SMP, berlari menghampirinya.
"What's up, bro," ucap Putra sambil memberikan salam dengan kepalan tangan.
"Baik, bro," jawab Arya, membalas salam mereka dengan senyum lebar.
"Gila, lu keren banget tadi pidatonya. Serasa denger presiden ngomong!" kata Ridho, tertawa lepas.
Arya tertawa. "Bisa aja lu, Do."
Putra, yang penasaran, bertanya lagi, "Jadi, Ar, lu udah ada rencana buat ke depan? Denger-denger ada perusahaan gede yang nawarin sesuatu buat lu, ya?"
Arya mengangguk pelan. "Iya, ada beberapa perusahaan yang nawarin program recruitment. Ada yang dari perusahaan teknologi besar, ada juga dari sektor keuangan."
Ridho mencondongkan tubuhnya ke depan, "Wah, keren banget! Lu mau ambil yang mana?"
Arya mengangkat bahu, "Masih mikir-mikir. Dua-duanya punya kelebihan masing-masing. Di perusahaan teknologi, aku bisa terus berkembang di bidang yang aku suka. Tapi di sektor keuangan, ada peluang besar buat karir dan penghasilan."
Ridho menyikut Arya dengan canda, "Tapi lu nggak bakalan ngelupain kita kan, kalo udah sukses nanti?"
Arya tertawa lagi, "Nggak lah. Kalian tetep sahabat gue. Kita harus sukses bareng-bareng. Kalian sendiri gimana?"
Putra mengusap dagunya, "Gue sih mau lanjut S2 dulu. Pengen dalemin ilmu lebih jauh."
Ridho mengangguk, "Gue juga, pengen coba cari beasiswa ke luar negeri. Siapa tau bisa dapet pengalaman baru."
Arya merasakan semangat yang sama mengalir dalam dirinya. "Bagus tuh. Apapun pilihan kita, yang penting kita terus berusaha."
Setelah makan siang selesai, mereka berpisah di kantin. Ridho dan Putra ingin menemui orang tua mereka yang datang ke acara wisuda. Sebelum pergi, mereka mengajak Arya untuk ikut.
"Ar, ikut yuk. Orang tua kita pengen ketemu lu juga," ajak Putra.
Arya menggeleng dengan senyum kecil. "Nggak deh, kalian aja. Gue mau jalan-jalan dulu. Nanti kita ketemu lagi."
Ridho menepuk bahu Arya, "Oke, bro. Jangan lama-lama ya. Nanti kita ketemu lagi buat ngerayain."
Arya tersenyum dan melambaikan tangan saat teman-temannya pergi. Dia memutuskan untuk pergi ke tempat rahasianya, sebuah lahan kosong di ujung kampus, yang selama ini menjadi tempatnya merenung.
Dengan langkah perlahan, dia berjalan melewati halaman luas kampus yang dipenuhi bangunan bergaya klasik. Cahaya matahari yang terik menembus jendela-jendela kaca yang berbaris sepanjang gedung, membuat mereka berkilau.
Setibanya di tempat rahasianya, Arya duduk berteduh di bawah pohon besar dan rindang. Tempat ini selalu memberinya ketenangan, jauh dari keramaian. "Memang sepi, tapi pemandangannya bagus," gumamnya, melihat ke arah keramaian di depan auditorium.
Di tengah teriknya mentari dan hembusan angin, daun-daun kering berguguran di atas rerumputan. Arya bersandar pada batang pohon, menikmati kedamaian yang langka ini. Di tengah ketenangan itu, ingatan masa kecilnya kembali muncul, membawa serta penyesalan yang dalam dan tak terhindarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remove Me
RandomRemove Me adalah kisah tentang perjalanan menemukan diri sendiri, mengatasi rasa kehilangan, dan menghadapi kenyataan hidup. Dalam menghadapi tragedi yang mengejutkan dan pilihan yang sulit, Arya harus menemukan keberanian untuk berdamai dengan masa...