Re-Nine

47 12 21
                                    

Bunyi dering alarm dari ponsel terdengar begitu nyaring, memaksaku untuk membuka kelopak mataku yang masih terasa berat. Bias cahaya matahari tampak redup di balik jendela yang ditutupi tirai berwarna biru. Dengan malas, aku meraba-raba ke arah meja kecil di sebelah tempat tidurku, mencari ponsel untuk mematikan alarm.

Dengan menguap, aku bangkit, menyibak selimut yang menutupi baju tidur set berwarna putih yang kukenakan. Menapaki lantai berubin yang terasa dingin, aku berjalan menuju jendela di sebelah kananku. Rambut hitamku yang kusut menutupi wajah putihku, yang kurapikan dengan jari-jariku.

Cahaya kelabu matahari menerpa, sesaat setelah tirai jendela tersibak. Di luar, di jalanan gang, orang-orang sudah sibuk beraktivitas. Ibu-ibu menyiapkan peralatan sekolah anaknya, berbelanja ke warung, dan pegawai kantoran menyemir sepatu.

"Duarrr!!!!"

Suara pintu kamarku yang terbentur keras mengagetkanku. Dengan terkejut, aku mengalihkan pandangan dan mendapati adikku, Risa, berdiri di sana.

"Kaaak....Banguuuunnnnnnn!!!!!!" teriak Risa keras sesaat setelah pintu terbuka.

Aku meletakkan tanganku di dada, menatap kesal ke arah adikku. Risa tersenyum. "Eh, udah bangun ya kak?" lanjutnya sambil tertawa kecil.

Aku meraih bantal di tempat tidurku dengan tatapan kesal. "Sini-sini!" Ucapku sambil berjalan santai dengan bantal di tangan, seperti ingin melempar. Lengan kiriku melambai berulang ke arah Risa.

"Kenapa sih, cuma bangunin kok!" kata Risa ketus.

"Iya, bangunin nggak gitu juga. Sini, kakak kasih tahu."

Risa mulai berlari saat aku mendekat beberapa langkah ke arahnya. "Gak mau ah," katanya sambil mengejek dan tertawa menuruni tangga.

"Risa, jangan nakal! Sini, kakak bilang," seruku sambil mengejar dengan bantal di tangan.

"Ma, tolong, Ma!" seru Risa setelah menuruni tangga dan mendapati ibuku sedang memotong bawang di dapur.

Ibu kami menoleh sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya. "Ada apa sih pagi-pagi udah ribut."

Risa memeluk ibu mencoba berlindung sambil mengejekku, di mana aku sedang terengah-engah di dekat ujung tangga. "Ini kak Sinta jahat, Ma!"

"Ada apa, Sin? Adikmu kamu apain?"

"Gak diapa-apain kok, Ma. Ini si Risa bikin kaget aja, masuk kamarku main nendang pintu, pakai teriak lagi."

Mama melirik ke arah Risa. "Kamu juga, Risa. Gak boleh gitu sama kakaknya."

"Ya udah, sekarang tukar baju dulu sana!"

"Iya, Bu," jawab Risa sambil melihat ke arahku dan tertawa. Melihat wajah kesalku yang berjalan menuju kamar mandi.

"Mau ke mana, Kak?" tanya Risa saat berpapasan.

Aku menatap adikku dengan ketus. "Mau mandi, lah."

"Sekalian tidur?" tanya Risa.

Mendengar perkataan Risa, aku sadar masih memeluk bantal. "Nih, antarin sekalian ke kamarku," kataku sambil melempar bantal itu kepada Risa, yang berhasil dia tangkap. Risa tertawa kekeh diikuti ibu yang menggelengkan kepala dan tersenyum "Aduh, Sinta, Sinta."

Setelah mandi dan memakai seragam, aku, Risa, dan mama kami berkumpul di meja makan kaca berkapasitas enam kursi, di depan dapur masak di sebelah tangga menuju lantai dua. Kami menikmati sarapan bersama sebelum berangkat sekolah.

Mama kami dulunya adalah seorang pramugari. Setelah menikah, ia menjadi ibu rumah tangga biasa, selalu ada di rumah untuk kami. Risa sekarang baru saja kelas 6 SD, meski terkadang suka bikin kesal, aku sangat menyayanginya.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang