Re-Two

113 28 48
                                    

Tok, tok....

Di balik pintu kamar, Ibunya berdiri merapatkan badan, menunggu jawaban. "Arya, bangun, nak! Nanti telat berangkat ke sekolah," namun tak ada sahutan dari Arya. Ibu Arya pun memaksa masuk.

"Ya ampun, bangun, nak! Udah jam berapa ini? Nanti kamu telat!" ucap si Ibu sambil berjalan membuka jendela di kamar itu.

"Nak, ayo cepat bangun," sambung si Ibu, melihat Arya yang menarik selimut untuk menutup wajahnya saat cahaya matahari masuk ke kamar dari jendela yang baru saja terbuka.

"Iya, bentar lagi, Bu," gumam Arya dari dalam selimut.

"Udah-udah, bangun," ucap si Ibu sambil menarik selimut Arya.

Arya mengerang malas, meraba-raba mencari selimut yang ditarik ibunya. Dengan mata setengah terbuka dan raut wajah kusut, ia bangkit dari tempat tidur. "Iya-iya," gumamnya kesal sambil menyeret langkah menuju kamar mandi, pandangan matanya masih berat oleh sisa kantuk.

"Susah amat dibangunin," gumam si Ibu yang merasa jengkel dengan tingkah Arya.

"Beresin dulu tempat tidurnya, Nak!" sambung si Ibu saat Arya hendak pergi.

"Iya nanti," jawab Arya lalu pergi ke kamar mandi.

"Aduh, ini anak, susah amat dibilangin," gerutu si Ibu kesal, lalu membereskan tempat tidur Arya.

Setelah mandi serta mengenakan seragam sekolah, Arya menyiapkan beberapa buku, alat-alat tulis, dan perlengkapan sekolah lainnya, yang dimasukkan ke dalam tas. Arya kemudian keluar dari kamarnya menuju ruang makan.

Dengan menyingkap tirai dari sebuah pintu yang jadi pemisah antara ruang tamu dan dapur, ia mendapati Ibu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Ia berjalan dan duduk di sebuah meja makan persegi berbentuk minimalis dengan corak bunga di tengahnya, yang kini tertutup oleh beberapa piring kosong, mangkok berisi lauk, serta gelas-gelas berisi air yang sepertinya baru diisi oleh Ibu Arya. Dengan menarik kursi, Arya duduk di depan Ayahnya.

"Wah, tambah tampan aja nih anak Ayah," ucap Ayahnya dengan senyum sambil menutup korannya. Namun, Arya tidak menggubris, ia duduk malas dengan menyandarkan kepala ke tangannya yang terlipat di atas meja.

"Gak terasa udah besar ya, anak Ayah," sambungnya menatap bangga kepada Arya.

"Besarnya aja yang nambah, tapi bangun pagi susah," potong si Ibu sambil meletakkan satu mangkok berisi sayuran dan duduk di sebelah ayahnya.

"Sekali-kali gak apa-apa lah," ucap si Ayah membela Arya.

"Nah itu salahnya Ayah, terlalu manjain anak," ujar si Ibu kesal sambil menuang air teh ke dalam gelas.

"Biarin aja lah, nanti juga dewasa dia bakal tahu," ucap Ayah.

"Udah yuk makan, gak ada habisnya ngomong sama Ayah," ucap si Ibu kesal sambil menyendok nasi ke atas piring.

Ayah arya melempar tawa ke arah si ibu yang nampak kesal, di lanjutkan dengan menatap ke arah Arya "Ayo nak, kita makan."

Setelah sarapan, mereka bertiga berangkat menggunakan mobil. Arya duduk di bangku belakang, sementara ibunya berada di sebelah ayahnya yang menyetir kala itu.

Ayah Arya, Bramantiyo, biasa disapa Bram, adalah seorang wirausaha yang memiliki restoran. Usaha mereka sebelumnya sangat sukses dengan beberapa cabang di berbagai kota. Namun, beberapa tahun belakangan ini pendapatan berkurang, memaksa mereka menutup beberapa restoran hingga kini hanya tersisa satu restoran kecil di kota itu.

Dengan keadaan usaha yang tidak lagi bagus, Pak Bram dan Ibu Arya, Erin Anastasia, terpaksa bekerja langsung di restoran tersebut. Di samping itu, Bu Erin juga bekerja sebagai guru bimbel.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang