Re-Trhee

93 28 40
                                    

Dengan napas tersengal, ia akhirnya tiba dan lega melihat pintu yang masih terbuka. "Syukurlah, masih ada guru," gumamnya sambil meletakkan tangan di dada. Ia melangkah perlahan masuk ke dalam ruangan, matanya tertuju pada seorang pria tua beruban yang duduk di sofa berwarna crimson yang tersusun melingkar.

"Ada apa, Nak?" tanya Pak Budi dengan suara lembut, berjalan melewati lemari kayu yang tersusun membentuk lorong, menghampiri gadis kecil itu dari samping kanannya.

Suara yang tak terduga itu membuat gadis kecil tersebut mengalihkan pandangan, diikuti oleh Kepala Sekolah yang juga menoleh penasaran ke arahnya. "Tolong, Pak. Arya dan Dion sedang berkelahi di depan gerbang sekolah," ucap gadis itu cemas.

Pak Heri menghela napas panjang lalu menggeleng. "Ada ada saja. Baik, Bapak akan ke sana."

"Iya, Pak," jawab gadis itu dengan suara gemetar.

"Ada apa, Pak Heri?" tanya Kepala Sekolah sambil mengerutkan dahi.

"Ini, Pak. Ada yang berkelahi di depan gerbang," jawab Pak Heri, mengalihkan pandangan ke arah Pak Hartono, sang Kepala Sekolah.

"Biar saya saja yang ke sana. Bapak tunggu di sini saja," sambung Pak Heri, mengira Pak Hartono ingin beranjak dari tempatnya.

"Nanti bawa mereka berdua ke sini," ucap Pak Hartono, menghentikan langkahnya.

"Iya, Pak," jawab Pak Heri sambil mengangguk, lalu berjalan keluar.

Si gadis itu pun meminta izin untuk pergi, menundukkan kepala kepada pria beruban dan jangkung yang baru saja kembali duduk. Pak Hartono membalas dengan anggukan kecil dan berkata, "Hati-hati."

Gadis itu keluar dan mencoba mengejar Pak Heri, tetapi baru saja tiba di teras, langkahnya terhenti oleh dua orang yang menghalangi jalannya.

"Boleh tahu ada apa?" tanya Ridho yang penasaran, melihat Pak Heri berjalan tergesa-gesa.

"Arya berkelahi," jawab gadis itu, suaranya masih gemetar.

"Apa? Arya?"

"Ayo buruan, Put," ucap Ridho dengan wajah panik.

"Makasih ya, infonya," ucap Putra kepada gadis itu sambil tersenyum simpul, mencoba menebar pesona. Namun, gadis itu hanya mengangguk kecil.

"Ya ampun, sempat-sempatnya!" gerutu Ridho sambil memutar mata, lalu menyeret Putra dengan menarik kedua tangannya. "Ayo buruan," lanjutnya, membawa Putra berlari mengikutinya.

Mereka berdua pun berlari melintasi halaman sekolah di depan kantor, tempat biasa mereka melakukan kegiatan baris-berbaris seperti upacara bendera. Mereka melewati beberapa bangunan dan tempat parkir, dan tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke gerbang sekolah.

"Eh, bukannya itu Pak Heri? Kok jalannya lama banget," ucap Ridho, melihat Pak Heri berjalan santai menuju gerbang.

"Memang dari dulu begitu, maunya santai terus. Setiap jam olahraga, dia cuma ngasih bola dan nyuruh main di lapangan. Terus nanti dia ngajarin anak perempuan baris-baris sama senam. Parah banget," gerutu Putra.

"Parah emang," sambung Ridho sambil melewati Pak Heri.

"Woy, kalian berdua, sini!" teriak Pak Heri saat menyadari Ridho dan Putra baru saja lewat, membuat mereka terpaksa berhenti berlari.

Mereka berjalan kembali ke tempat Pak Heri berdiri, ekspresi cemas tergantikan oleh rasa kesal.

"Kalian berdua nggak ada sopannya, ya? Melewati guru tanpa izin?" tegur Pak Heri dengan nada kesal.

"Maaf, Pak, tapi kami mau lihat Arya. Dia sedang berkelahi dengan Dion," jawab Ridho cepat.

Pak Heri menghela napas panjang. "Ya sudah, tapi hati-hati. Jangan ikut-ikutan berkelahi, paham?"

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang