Re-Twenty Two

4 1 0
                                    

Berbulan-bulan semenjak hari itu berlalu, aku terjebak dalam kebohonganku terhadap Sinta. Setiap kali kami berbicara, aku harus terus berpura-pura bahwa semuanya berjalan lancar, bahwa aku diterima di perusahaan itu, dan semua impianku tengah menuju kenyataan. Namun, semakin lama, beban kebohongan ini semakin menyesakkan.

Setiap kali Sinta dengan penuh semangat bertanya tentang pekerjaanku, tentang bagaimana proyek yang sedang kukerjakan, aku harus terus menambah detail kebohonganku. Aku mulai menciptakan proyek-proyek fiktif, rekan kerja yang tidak pernah ada, bahkan rapat-rapat yang tidak pernah terjadi. Semua itu agar aku tidak menghancurkan harapan Sinta, yang tampaknya semakin yakin bahwa masa depan kami bersama akan cerah.

"Arya, aku sudah ceritakan pada orang tuaku soal pekerjaanmu," ucap Sinta suatu hari. "Mereka senang banget dengarnya. Mereka jadi nggak sabar menunggu kapan kita bisa berkunjung."

Pernyataannya menghujamku seperti pisau. Setiap kali Sinta berbicara tentang masa depan, aku hanya bisa menelan rasa bersalah yang semakin membengkak. Aku tahu, semakin lama aku menunda kebenaran, semakin sulit untuk melepaskan diri dari kebohongan ini. Tetapi setiap kali aku berusaha membuka mulut untuk mengatakan yang sebenarnya, rasa takut akan kehilangan Sinta menahanku.

Suatu malam, setelah menutup telepon dari Sinta, aku duduk di sofa rumahku, dilingkupi rasa bersalah yang begitu dalam. Ponselku tergeletak di sebelahku, layar yang masih menyala menampilkan pesan dari Sinta: "Aku percaya, kamu pasti bisa mewujudkan semua impianmu."

Aku menatap pesan itu lama, merasakan kekosongan yang mencekam. Semakin lama aku menatap layar, semakin besar desakan dalam hatiku untuk berhenti. Berhenti berbohong. Berhenti berpura-pura.

Dengan tangan gemetar, aku meraih ponselku dan mulai mengetik balasan. Kata-kata jujur yang telah lama kupendam mulai mengalir.

"Sinta, aku perlu bicara jujur sama kamu. Sebenarnya..."

Namun, sebelum sempat menyelesaikan pesanku, rasa takut kembali menyerangku. Aku terdiam, jari-jariku berhenti menekan layar. Keringat dingin mengalir di dahiku, dan akhirnya aku menghapus semua kata-kata itu. Aku tak sanggup.

"Aku pasti bisa menebus ini," gumamku kepada diri sendiri. "Aku hanya butuh sedikit waktu lagi."

Namun, jauh di dalam hati, aku tahu, waktu tidak akan menyelamatkanku dari kebohongan ini.

Hari demi hari berlalu, dan aku semakin terjebak. Setiap kebohongan yang ku ucapkan hanya membuatku merasa semakin jauh dari Sinta, dan membuat semuanya terasa lebih pahit. Dari semua rasa takut yang Aku miliki untuk kehilangan Sinta, bukan takut jika dia meminta putus ketika aku berbicara jujur padanya, tetapi ada hal lain yang lebih berat dari itu. Aku yakin dia masih ingin bersamaku, meski keadaanku yang sekarang tak seperti mimpi-mimpi yang pernah aku ceritakan dahulu.

Tetapi bagaimana dengan kedua orang tuanya? Bagaimana mereka akan memandangku setelah tahu jika aku orang yang gagal? Bagaimana aku bisa bersama Sinta dalam keadaan tak berdaya setelah kebohongan yang selama ini berusaha kututupi tentang kehidupanku? Pertanyaan-pertanyaan itu bergema hebat dalam pikiran, menerawang setiap masalah di dalam sunyi, menusuk perih tanpa solusi.

Rasanya seperti hidup dalam dua dunia. Di satu sisi, aku berusaha mencari pekerjaan baru, melamar ke sana-sini dengan harapan bisa menebus kebohonganku. Tetapi, setiap kali aku menerima penolakan, rasa putus asa itu semakin menghantui. Sementara di sisi lain, aku harus terus menjaga topeng kebohongan di hadapan Sinta, berpura-pura bahwa aku adalah pria yang sukses, pria yang pantas untuknya.

Akhirnya aku tiba di tempat terakhir, satu-satunya harapanku untuk bisa bertahan di kota ini, sebuah perusahaan yang akan menjadi penentu untuk aku bisa tetap berada di sini.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang