Re-Twelve

27 13 36
                                    

Kami pun berpisah di depan pintu kelas. Aku berjalan menuju tempat sahabatku yang duduk di depan kelas lain, di sebelah mading, di atas tempat duduk keramik. Suasana sekitar begitu ramai. Ketika aku tiba, Ridho menatapku dengan ekspresi tidak percaya, begitu juga Putra yang berada di sampingnya. Kami saling menyapa dengan bersalaman.

"Wah, apa kabar lu, Ar? Akhirnya ya kita bisa ketemu lagi," Ridho bertanya sambil tersenyum.

Dengan sedikit senyum aku menjawab, "Baik kok, Do. Lu sendiri gimana?"

"Ya sama, baik juga. Ini makhluk masih kenal gak lu?" Ridho menunjuk dengan bibirnya kepada seseorang yang berdiri di sampingku.

Aku menatap orang yang ditunjuk oleh Ridho. "Ini..." Aku berpura-pura berpikir keras, "siapa ya?" sambil memegang dagu, berpura-pura tak mengenali kalau itu adalah Putra. "Oh, aku tahu, anak orang bukan?"

Ridho tertawa dan menggelengkan kepala. "Bukan-bukan, hampir benar. Clue-nya tinggal di darat, bisa berenang, omnivora."

"Aduh, apa ya?" Aku menyipitkan mata, berpura-pura berpikir keras lagi.

Putra menampar keras punggungku, membuatku terhentak. Aku menatapnya dengan dahi berkerut. "Apa sih lu, sok akrab amat, kenal kagak, malah main nampar aja."

Ia menatap tajam ke arahku. "Eh, ekor kuda kepang dua, sombong amat lu mentang-mentang good morning!"

"Good looking," jawab Ridho sambil tertawa.

"Ya itu, maksud gue. Lagian gak penting juga," ujar Putra kepada Ridho, lalu kembali menatap padaku. "Lo masa semudah itu lupain gua, Ar? Lo gak ingat apa saat kita dulu main di comberan, saat hujan turun begitu deras, kita bernyanyi bersama di obok-obok air-nya di obok-obok, oh lupa-kah, dirimu?"

Mendengar ucapannya yang terdengar naratif itu membuat kami tak kuasa menahan tawa. Aku dan Ridho pun tertawa terpingkal-pingkal.

Setelah tawa kami mereda, Putra melanjutkan dengan cerita yang lebih serius. "Ngomong-ngomong, gue punya cerita seru waktu nenek gue dirawat di rumah sakit. Kalian mau dengar?"

Ridho terlihat tertarik. "Cerita apa tuh? Cerita seram ya?"

Putra mengangguk. "Iya, agak seram juga sih. Jadi, waktu nenek gue dirawat di rumah sakit, ada seorang gadis kecil yang juga dirawat di sana. Gadis itu sudah cukup lama di sana karena mengidap penyakit yang serius dan divonis tidak akan berumur lama lagi. Dia hanya bisa bicara dan melihat, tidak bisa bergerak."

Aku mulai penasaran. "Lalu, apa yang terjadi sama gadis itu?"

Putra melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "Suatu hari, gadis itu mendengar tentang seorang anak laki-laki yang buta yang juga dirawat di rumah sakit itu. Anak itu butuh donor mata untuk bisa melihat lagi. Gadis kecil itu merasa kasihan dan berniat mendonorkan matanya kepada anak laki-laki itu."

Ridho terlihat terkejut. "Serius? Dia benar-benar mau mendonorkan matanya?"

Putra mengangguk. "Iya, gadis itu benar-benar melakukannya. Setelah donor mata berhasil dilakukan, gadis itu meninggal. Tapi setelah kematiannya, banyak pasien dan staf rumah sakit yang mengaku melihat hantu gadis kecil tanpa mata berkeliaran di sekitar rumah sakit."

Aku merinding mendengar ceritanya. "Wah, jadi hantu gadis itu masih ada di rumah sakit?"

Putra mengangguk dengan ekspresi serius. "Iya, banyak yang bilang begitu. Konon, hantu gadis itu suka mendekati pasien yang sedang tidur dan berbisik di telinga mereka, seolah mencari matanya yang hilang."

"Tapi bukan itu masalahnya, lu masih ingat gua gak?" sambung Putra bertanya ke arahku.

Aku tertawa menatap ke arahnya, merangkul bahunya, lalu mengangguk. "Iya, aku masih ingat kok. Mana mungkin gua lupa."

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang