Re-Seventeen

6 2 3
                                    

Keesokan paginya, sinar matahari menembus jendela kamar, membangunkanku dari tidur yang gelisah. Hari baru dimulai, dan aku merasakan semangat baru yang perlahan tumbuh dalam diriku. Meski begitu, bayang-bayang percakapan semalam masih terasa jelas di benakku.

Setelah membuka jendela kamar dan menghirup udara segar pagi, aku mendengar pintu kamarku terbuka perlahan. Seperti yang sudah kuduga, Risa, adikku, mengintip dari celah pintu.

"Kak Sinta, ayo sarapan. Ayah dan Ibu sudah menunggu di dapur," serunya dengan senyuman yang selalu membuatku tersenyum juga.

"Iya, Dek. Kakak sebentar lagi ke sana," jawabku sambil merapikan rambut. Risa mengangguk dan menutup pintu, meninggalkanku untuk bersiap-siap.

Saat aku tiba di meja makan, Papa dan Mama sudah duduk di sana. Papa, Dr. Adrian, dengan tenangnya merapikan koran setelah selesai membaca berita pagi, sementara Ibu, Bu Lestari, sedang menyajikan teh hangat.

"Kelihatannya kakak lesu amat. Kakak tidurnya nyenyak gak semalam?" tanya Mama sambil menatapku penuh perhatian.

Aku tersenyum tipis, mencoba menepis kekhawatiran mereka. "Aku tidur nyenyak kok, Ma," jawabku singkat. Tapi aku tahu bahwa mereka bisa melihat sesuatu yang mengganggu pikiranku.

Sarapan pagi berlangsung dengan kehangatan yang biasa, namun menjelang akhir, Papa mulai membuka topik yang sudah kuduga akan muncul lagi. "Sinta, Papa dan Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu sudah lebih dari dua tahun lulus kuliah, dan kami berharap kamu bisa mulai memikirkan masa depanmu... termasuk soal pernikahan."

Aku terdiam, memainkan sendok di tanganku. Pikiran tentang Arya kembali menghantuiku. Papa dan Ibu tahu tentang perasaanku pada Arya, meski mereka tidak pernah menyebutnya secara langsung. Namun, mereka juga memperkenalkanku pada Fadil, tetangga lama kami yang sekarang sudah menjadi sosok yang sukses dan mapan.

Ibu menatapku dengan lembut. "Kami hanya ingin kamu bahagia, Sinta. Tidak ada paksaan, tapi kami harap kamu bisa mempertimbangkannya."

Sebelum aku sempat menjawab, aku teringat sesuatu. "Maaf, aku harus mengantar Risa ke sekolah," kataku, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Papa tersenyum dan mengangguk. "Hati-hati di jalan, Nak."

Setelah berpamitan, aku dan Risa melangkah keluar rumah menuju mobil. Sepanjang perjalanan ke sekolah, Risa terus bercerita tentang teman-temannya dan pelajaran di sekolah. Meskipun aku mendengarkannya, pikiranku melayang-layang antara masa laluku dengan Arya dan masa depan yang belum pasti.

"Kak, udah sampai," suara Risa membuyarkan lamunanku. Aku berhenti di depan gerbang SMP tempatnya bersekolah. Risa keluar dari mobil dengan cepat, lalu melambaikan tangan ke arahku. "Makasih, Kak! Sampai nanti!"

Aku tersenyum dan melambaikan tangan kembali. "Iya, hati-hati ya de."

Setelah Risa menghilang di balik gerbang sekolah, aku duduk sejenak di mobil, menatap ke luar jendela. Pikiranku kembali ke Arya, dan pada Fadil yang kini diperkenalkan oleh orang tuaku. Apakah aku siap untuk membuka lembaran baru? Aku tidak tahu pasti, tapi satu hal yang jelas, hidupku sedang berada di persimpangan, dan aku harus segera memilih arah yang akan kutempuh.

Dengan napas panjang, aku menyalakan mesin mobil dan melaju perlahan menuju rumah. Jalanan kota sudah lumayan padat pagi itu, beruntung aku tidak terkena macet di jalan. Hingga aku tiba perempatan jalan, mataku tertuju kepada sebuah cafe yang dahulu selalu kami kunjungi bersama dengan Arya, membuatku mengurungkan niat untuk langsung ke rumah, memarkirkan mobil di depan cafe tersebut.

Dari kejauhan terlihat cafe itu baru saja terbuka tampak para karyawan kafe sedang sibuk menyapu dan bersih-bersih, jadi aku memutuskan untuk sejenak menunggu di atas mobilku, dan melihat story Instagram pada ponsel.

Setelah beberapa menit berlalu, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kafe. Mungkin segelas kopi bisa membantu menenangkan pikiranku yang kacau. Ketika aku melangkah masuk, aroma kopi yang familiar segera menyapa indra penciumanku, membawa kembali kenangan-kenangan lama yang dulu terasa begitu hangat.

Aku memilih tempat duduk di sudut kafe, dekat jendela, yang memberikan pemandangan jalanan kota yang mulai ramai oleh aktivitas pagi. Pelayan kafe tersenyum ramah dan menghampiriku.

"Mau pesan apa kak?" tanyanya.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Latte satu ya."

Sambil menunggu pesananku datang, pikiranku kembali ke percakapan sarapan tadi pagi. Wajah Papa dan Mama terlintas jelas di benakku, mereka hanya ingin yang terbaik untukku, tapi kenapa semuanya terasa begitu sulit? pikirku dalam hati, menghela nafas, memandang ke arah luar jendela.

Tak perlu mencoba mengingat, hari itu seakan kembali hadir. Sore itu adalah acara kelulusan kami di SMA. Kami berenam—aku, Rina, Maya, Arya, Ridho, dan Putra—sedang bersama-sama mengitari jalanan kota, merayakan hari keberhasilan kami di sekolah. Jalanan penuh dengan riuh rendah suara klakson dan sorakan teman-teman seangkatan yang berkonvoi merayakan kebebasan dari dunia sekolah.

Arya menjadi lulusan terbaik tahun itu, dan sejujurnya aku masih sulit mempercayai perubahan besar yang terjadi dalam dirinya. Arya yang kukenali saat masa SMP adalah anak yang pemalas, sering bolos, dan kerap membuat onar. Namun, sejak masa SMA, dia berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Dia mulai gemar membaca, menjadi rajin, dan begitu baik, seakan-akan Arya yang dulu tidak pernah ada.

Meskipun banyak hal yang berubah dalam dirinya, semua itu tidak pernah menjadi penghalang bagiku untuk tetap menyukainya. Mungkin, jika dia kembali menjadi sosok yang lebih buruk dari masa SMP-nya, aku masih meragukan kemampuanku untuk benar-benar membencinya.

Kami berhenti di cafe yang kini aku duduki. Saat itu, suasananya penuh dengan tawa, kebahagiaan, dan harapan tentang masa depan yang begitu cerah di hadapan kami. Arya duduk di sebelahku, wajahnya cerah, dan matanya memancarkan semangat yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Akhirnya kita lulus ya, Sin," ucap Arya penuh antusias. Aku tersenyum melihat semangatnya yang menular.

Kami melanjutkan perjalanan hidup bersama-sama, dari SMA hingga kuliah. Cafe ini menjadi saksi dari berbagai momen penting dalam hidup kami, saat kami merayakan ulang tahun, saat Arya bercerita tentang ambisi dan mimpinya, hingga saat-saat di mana kami hanya duduk berdua, menikmati secangkir kopi dan saling berbagi tentang masa depan yang kami bayangkan.

Namun, tidak semua hal berjalan seperti yang diharapkan. Di tahun terakhir kuliah, tekanan untuk memilih jalur hidup yang lebih serius mulai terasa. Arya mulai sibuk dengan proyek akhirnya, dan aku pun tenggelam dalam persiapan skripsi. Kami masih bersama, tetapi aku merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara kami.

Di cafe ini, pada suatu malam setelah kelulusan kami dari kuliah, Arya mengajakku berbicara. Wajahnya serius, berbeda dengan biasanya. "Sinta, aku harus ngomong sesuatu," katanya dengan nada yang berat. Aku merasa jantungku berdegup lebih kencang.

Dia bercerita tentang tawaran kerja di luar kota yang baru saja diterimanya. Kesempatan ini terlalu berharga untuk ditolak, namun juga berarti kami harus menjalani hubungan jarak jauh. "Sinta, mungkin aku akan cukup lama di sana, dan kita tidak akan bisa bertemu seperti biasanya. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi kamu tahu, ini penting bagiku. Jadi, aku harap kamu bisa mengerti. Aku janji, suatu saat nanti aku akan kembali, dan kita akan bersama lagi. Aku berharap bisa melamarmu. Aku janji, tunggu aku ya," ucapnya dengan suara yang terdengar penuh keraguan.

Aku menatapnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. "Aku tahu, ini begitu berat, tapi aku tidak bisa menahanmu di sini, menghalangimu mengejar impianmu. Jadi, aku akan menunggu kamu. Aku juga mencintaimu, Arya," bisikku. Namun, dalam hati, aku sadar bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya bisa kami kendalikan.

Akhirnya, kami memutuskan untuk tetap bersama, mencoba menjaga hubungan meski jarak memisahkankami. Tapi seiring berjalannya waktu, kesibukan dan jarak mulai menguji komitmen kami. Hubungan yang dulu penuh dengan tawa dan keceriaan perlahan-lahan berubah menjadi rangkaian pesan singkat dan panggilan telepon yang semakin jarang.

Kini, aku duduk di cafe yang sama, kembali teringat akan janji-janji yang pernah kami buat. Sebuah janji yang pada akhirnya tidak bisa kami tepati. Seperti segelas latte yang hangat di tanganku, kenangan tentang Arya pun mulai mendingin, tergantikan oleh kenyataan bahwa aku harus segera menentukan arah hidupku yang baru.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang