Re-Eleven

43 16 31
                                    

Setelah satu setengah tahun berlalu, akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku berdiri di halaman, mengamati bangunan bercat putih itu. Sekilas, semuanya masih sama. Tak ada yang berubah, kecuali rumput liar di pekarangan yang tumbuh lebih tinggi. Dan rasa sesak di dada menyertai setiap langkahku.

Di teras, pot-pot yang dulu berisi tanaman hijau segar kini tampak layu dan kering. Pemandangan ini mengingatkanku pada Ibu, yang selalu dengan semangat menyirami mereka setiap pagi di bawah sinar matahari yang hangat. Aku tiba di depan pintu rumah, mengenang saat-saat indah ketika kami selalu keluar bersama di pagi hari sebelum aku berangkat sekolah. Ayah selalu menjadi yang terakhir keluar, mengenakan sepatunya dari dalam rumah.

"Ayah...!" seru Ibu, menunjuk ke arah kakinya dengan tatapan tajam. "Kenapa pakai sepatu di dalam rumah? Lantainya baru saja dibersihkan."

Ayah hanya tersenyum sambil berkata, "Maaf lupa bu, soalnya ibu keliatan cantik setiap pagi, jadi lupa deh."

"Ihhh... Ayah, kebiasaan deh," jawab Ibu sambil menghela napas panjang. Ayah akan mengangguk dengan senyum nakal dan berkata, "Nanti Ayah yang nyapu. Ayo, kita berangkat."

Mereka selalu seperti itu—berdebat kecil yang lebih terasa seperti rutinitas yang akrab daripada perselisihan. Itu adalah momen-momen kecil yang membuat rumah ini terasa seperti rumah.

Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Setiap sudut ruangan tampak familiar, seolah waktu berhenti di sini. Di dekat meja televisi, sebuah foto keluarga yang berdebu terpajang, mengingatkanku pada saat kelulusan SD. Melihat foto itu, tanpa sadar air mata mengalir di pipiku. Aku menyekanya dengan cepat, meletakkan kembali foto tersebut, dan melangkah ke kamar.

Di kamar yang sunyi, aku merebahkan diri di tempat tidur, menatap plafon putih. Meski terasa pengap, aku tidak sanggup bergerak. Perjalanan panjang membawaku kembali ke kamar ini, tetapi sekarang aku merasa lebih sendiri daripada sebelumnya.

***

Enam hari berlalu sejak kedatanganku. Seharusnya aku sudah mulai bersekolah sehari setelahnya, tetapi aku sibuk dengan pekerjaan bersih-bersih rumah. Beruntung, aku masih memiliki kontak Ridho, teman lama yang kini satu sekolah denganku. Aku meminta bantuannya untuk mengurus surat izin sakit palsu agar bisa absen sementara.

Ridho selalu mengabari tentang kehidupan sekolah, termasuk tentang seseorang yang sedang mencariku. Namun, aku memilih untuk tidak menanggapinya. Lagi pula siapa juga yang peduli dengan orang asing, bicara tentang orang asing, kalau di ingat, mungkin aku punya satu, bahkan aku baru pertama kali bertemu dengannya saat sekolah SMP, bahkan hal itu kurang cocok di katakan pertemuan, melainkan seperti kecelakaan.

Namun entah kenapa, semenjak hari itu, aku selalu mengingat wajahnya, seperti aku mengenalnya telah lama, hal yang aneh memang bagaimana aku bisa mengingatnya melalui pertemuan yang berlangsung tak lebih lima menit itu, bahkan melebihi aku mampu mengingat wajah teman-ku sendiri.

Pagi ini, aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya, sekitar jam 6 pagi. Udara masih sejuk, dan suasana sekitar masih sepi. Hanya beberapa siswa yang sudah datang lebih dulu terlihat di halaman sekolah. Aku berjalan santai menuju gedung utama, melewati gerbang besar yang menjulang. Rasanya aneh, berada di sekolah yang begitu besar dan megah ini.

Aku berjalan menuju kelas X IPA 2, kelasku yang baru. Saat membuka pintu, kelas itu masih kosong. Tak ada satu pun siswa lain di sana, dan suasana sunyi terasa menyelimuti ruangan. Aku melihat sekeliling, memilih untuk duduk sebentar di bangku belakang. Namun, rasa kantuk masih menggelayuti, membuatku sulit berkonsentrasi.

Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang. Gudang sekolah yang terletak di ujung koridor sepertinya tempat yang tepat. Tempat itu sering sepi dan jarang dikunjungi orang. Aku berjalan ke sana, melewati beberapa lorong yang masih kosong.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang