Re-Ten

42 17 32
                                    

***

Di sebuah taman penuh bunga lily, dikelilingi pepohonan yang lebat dan menjulang tinggi, berdiri sebuah menara dengan jam dinding raksasa di tengah-tengahnya. Kupu-kupu ramai beterbangan, menyinggahi setiap kelopak warna-warni dari bunga yang tampak terawat indah.

Seorang gadis dengan rambut panjang mengenakan topi pantai berwarna putih yang hampir menutupi wajahnya, membuatnya sulit dikenali. Ia berlari dengan tawa riang, melompat di antara bunga-bunga, tersenyum ke arah kupu-kupu yang terbang. Gaun putihnya tersapu di antara batang-batang lily yang mekar, seolah menari di bawah langit kelabu yang dihiasi aurora.

Ia mendekat, semakin dekat, melempar senyum, disertai uluran tangan yang mengarah padaku.

"Ayo ikut aku."

Aku, terpikat oleh pesonanya, meraih tangannya tanpa ragu. Kami berjalan bersama, menyusuri jalan setapak di antara bunga-bunga lily menuju menara yang menjulang. "Di sini," katanya, menunjuk sebuah tempat di dekat menara, "Aku selalu berdoa untukmu."

Aku memandangnya dengan bingung. "Kenapa?" tanyaku.

Ia tersenyum, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Mungkin sekarang kamu belum mengerti, tapi suatu hari nanti, kamu akan tahu," jawabnya sambil melepaskan genggamannya. Ia berjalan mendekati menara dan duduk di atas rerumputan yang hijau.

 Ia berjalan mendekati menara dan duduk di atas rerumputan yang hijau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dong... Dong..." Lonceng menara berbunyi, bergema di antara hembusan angin.

"Arya!" terdengar samar seseorang memanggilku, suara lonceng itu-pun perlahan memudar, suara pagi dan kicau burung di rumah nenek membawaku kembali ke kenyataan. "Bangun, nak!"

Aku mengusap mataku yang masih berat dan menatap bibiku yang duduk di tepi tempat tidurku.

"Eh, Bibi," gumamku dengan suara serak.

"Kamu terlambat bangun, sayang. Pamanmu sudah menunggumu untuk sarapan," kata bibiku sambil tersenyum lembut.

Aku mengangguk dan perlahan bangun dari tempat tidur. Mimpi aneh itu masih terbayang jelas di benakku, tapi aku berusaha mengabaikannya. Setelah mandi dan berpakaian, aku turun ke ruang makan.

Pamanku sudah duduk di meja makan, membaca koran pagi. "Pagi, Arya," sapanya.

"Pagi, Paman," jawabku sambil duduk dan mulai makan sarapanku.

Seminggu telah berlalu sejak kami pindah ke rumah nenek. Rumah ini sekarang menjadi tempat kami berlindung setelah kematian ayah. Paman Ian dan Bibi Lia, bersama nenek yang sudah lanjut usia, selalu berusaha membuatku merasa nyaman.

Paman Ian dan Bibi Lia memiliki seorang anak berumur 3 tahun. Paman Ian, kakak kandung ibuku, lebih tua darinya dan baru saja menikah 4 tahun yang lalu. Nenekku sudah cukup tua dan memiliki penyakit darah tinggi yang tak pernah sembuh. Karena sakit kepala yang hebat, ia tak bisa berlama-lama duduk. Terkadang, ia pergi berjemur di luar rumah, lalu kembali ke tempat tidurnya. Paman Ian dan Bibi Lia yang selama ini membantu mengurus nenek.

Remove MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang