***
Aku membuka buku dan mulai mempersiapkan diri. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Arya yang duduk di belakangku, berdampingan dengan Maya. Mereka tampak serius dan siap dengan buku catatan masing-masing. Aku merasa sedikit aneh melihat Arya yang baru saja aku temui, kini duduk bersama Maya. Perasaan cemburu mulai merayap dalam hatiku, tetapi aku berusaha untuk menepisnya. "Ini hanya perasaan sementara," pikirku.
Aku mengenang kembali bagaimana dulu aku yakin perasaanku terhadap Arya hanya sekadar rasa kagum. Aku selalu menanti momen untuk bertemu dengannya lagi, hanya untuk menyampaikan rasa terima kasih yang belum sempat tersampaikan. Namun, setelah akhirnya aku berkesempatan mengucapkan terima kasih, ada sesuatu yang masih terasa kurang. Kata-katanya tadi pagi, "Aku juga, senang bisa jadi orang yang kamu butuhkan," terus terngiang di kepalaku, membuatku semakin terjebak dalam pikiranku sendiri. Aku menyandarkan dagu pada tangan yang terlipat di atas meja, mencoba menyembunyikan senyum kecil. "Ih, curang banget sih kamu Arya," gumamku dalam hati.
Pelajaran berlangsung dengan lancar, tetapi perasaanku terus tidak menentu. Aku berusaha fokus pada penjelasan Pak Budi tentang persamaan kuadrat, tetapi pikiranku terus-menerus kembali ke Arya. Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia senang duduk bersama Maya? Aku berharap bisa berbicara lebih banyak dengan Arya dan mengenalnya lebih dekat.
Saat istirahat tiba, aku melihat Arya mengobrol bersama Maya dan Rina. Aku merasa ada jarak yang semakin lebar antara kami, dan itu membuatku gelisah. Aku harus melakukan sesuatu agar bisa lebih dekat dengan Arya, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Dan setelah mengobrol untuk beberapa menit, Arya-pun berpamitan ke pada kami bertiga, di mana dia bilang, kalau ada janji sama Putra dan Ridho untuk bertemu, dan dia juga berpamitan pada-ku, lucunya aku merasa begitu senang sekali.
"Sinta, kamu kenapa? Kok kelihatan melamun?" tanya Rina yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku.
Aku tersentak dari lamunanku. "Oh, nggak apa-apa kok, Rin. Cuma lagi mikir aja."
Rina tersenyum lembut. "Kalau ada apa-apa, cerita aja ya. Kita kan sahabat."
Aku mengangguk. "Iya, terima kasih, Rin."
Rina duduk di sebelahku, membuka bekal makan siangnya. Maya juga bergabung dengan kami, membawa makanannya sendiri. "Hei, kalian sudah mulai makan tanpa aku?" canda Maya, mencoba mencairkan suasana.
Aku tersenyum kecil. "Belum kok, baru aja mau mulai."
Kami bertiga mulai makan bersama, mencoba menikmati waktu istirahat. Percakapan mengalir dengan ringan, dari topik pelajaran hingga rencana akhir pekan. Namun, pikiranku masih terfokus pada Arya.
"Tahu nggak, sebenarnya Arya itu bukan tipe orang yang gampang deket sama orang baru," kata Maya tiba-tiba, seolah membaca pikiranku. "Kalau dia terlihat akrab sama aku, mungkin itu karena kita sudah lama kenal."
Aku tersenyum tipis. "Iya, mungkin kamu benar."
"Tapi kamu juga harus tahu," tambah Rina, "Arya pernah cerita sama aku kalau dia terkesan sama kamu waktu kamu berani berdiri buat teman-teman kita di perpustakaan waktu itu. Dia bilang kamu punya keberanian yang jarang dia lihat."
Hatiku berdebar mendengar kata-kata Rina. "Serius?"
Rina mengangguk. "Iya, jadi jangan merasa kecil hati. Kalau kamu mau lebih dekat sama Arya, jadi diri sendiri aja. Itu yang bikin dia tertarik sama kamu."
Aku merasa sedikit lebih lega mendengar itu. Aku bertekad dalam hati, aku akan mencari cara untuk lebih dekat dengan Arya dan mengatasi perasaan cemburu ini. Tapi untuk sekarang, aku harus fokus pada pelajaran dan menikmati hari-hariku di sekolah bersama teman-teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remove Me
RandomRemove Me adalah kisah tentang perjalanan menemukan diri sendiri, mengatasi rasa kehilangan, dan menghadapi kenyataan hidup. Dalam menghadapi tragedi yang mengejutkan dan pilihan yang sulit, Arya harus menemukan keberanian untuk berdamai dengan masa...