13. Leker langganan Bunda.

448 57 4
                                    

Seluruh siswa dikelas Mipa-2 tampak serius menatap beberapa angka yang tertulis di papan tulis. Mendengarkan dengan baik setiap kata dari guru yang mengajar, tanpa berniat berpaling.

Mereka harus belajar sungguh-sungguh. Sebab, hari ujian sudah dapat dihitung oleh jari.

Srek!

Gabriel menggeser buku catatannya dan memberikannya pada Amanda.

Amanda lupa membawa kacamata, sehingga goretan spidol didepan tidak dapat terlihat olehnya.

Gadis itu menerima buku catatan Gabriel dan mulai menyalin setiap angka dari buku itu.

Jujur saja kepalanya berkedut saat melihat deretan rumus itu. Walaupun tulisan Gabriel rapi, itu tak meringankan rasa pening dikepalanya.

Gabriel tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya ketika mendengar Amanda menghembuskan nafas kasar berulang kali.

“Eh yang ini kok bisa dapet segini?”

Raisha membalikkan badannya sambil menunjukkan buku catatan miliknya.

Gabriel melirik buku itu, “ini dikali dulu Rai. Inget, perkalian dulu baru pertambahan.”

“Oh iya ya, gue lupa hehe. Thanks Geb.”

Raisha kembali menghadap kedepan dan membenarkan catatannya.

Saat Gabriel menatap ke sekeliling ruangan, tatapannya terhenti pada jendela kelas yang menampilkan keadaan luar ruangan.

Langit sangat cerah hari itu, awan putih tampak bergerak perlahan mengikuti hilir angin. Jika melihat sedikit kebawah, ia dapat melihat daun pohon di sekiling lapangan voli ikut bergerak karena terhembus oleh angin.

Bibirnya tertarik perlahan melihat seorang gadis mendudukan dirinya sambil mengipas-ngipas wajah. Wajahnya mengkilat karena keringat, rambutnya mulai lepek. Sepertinya gadis itu berolahraga dengan keras.

Gabriel memicingkan matanya saat melihat seorang laki-laki mendekat pada gadis itu. Dilihat dari postur tubuh, sepertinya ia mengenalnya.

Saat ia ingin melihat lebih jelas, guru yang mengajar dikelasnya menegurnya dengan lantang. Membuat ia mengurungkan niatnya.

“Gabriel! Hadap kedepan!”

“Iya bu, maaf.”

Gabriel kembali melihat ke papan tulis. Walau begitu, pikirannya masih melayang kemana-mana.

Ada perlu apa Derby pada Callista? Apakah penting? Sepenting apa?

Baik, kita kesampingkan Gabriel yang sedang ber-overthinking. Mari kita melihat kebenaran dari kejadian dilapangan Voli.

“Cal.” Derby berjalan mendekati Callista yang masih asik mengipas-ngipas wajahnya.

Callista mengernyit bingung, kemudian memasang senyum paling ramahnya saat tahu siapa yang menghampiri dirinya. Lelaki didepannya akan menjadi iparnya, bukankah ia harus bersikap baik? Hehe.

“Kenapa, Der?”

“Pak Yusdi suruh aku ngembaliin buku nilai, tapi aku gatau meja pak Yusdi sebelah mana. Kamu mau anter aku ngga?”

“Ohh, boleh-boleh. Mau dianter sekarang?”

“Iya.”

Callista mengangguk pelan dan berdiri dari duduknya, “yaudah, ayo.” Lalu mereka berjalan beriringan menjauhi lapangan.

Dalam perjalanan ke ruang guru mereka hanya saling diam, hingga akhirnya Derby membuka suara.

“Kamu deket sama Briel ya?”

You're PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang