24. Homecoming.

623 56 28
                                    

Matahari perlahan mulai menyingsing dari ufuk timur. Membawa sinarnya yang hangat seolah ingin menghalau dingin yang sempat malam tinggalkan untuk bumi.

Pada pagi hari itu, Ayah berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit dengan tatapan kosong. Rambutnya yang berantakan serta dasi yang miring, menunjukkan betapa putus asa dirinya.

Ayah menghentikan langkahnya tatkala sampai di depan sebuah pintu salah satu ruangan di Rumah Sakit. Sebelum benar-benar memasuki ruangan itu, Ayah menarik nafas dalam. Kemudian mendorong pintu itu dengan hati-hati.

Kedua netranya kembali bergetar, melihat putri semata wayangnya yang sangat dirindukannya kini terlelap dengan seragam pasien terpasang rapi di badannya. Saat menggulir penglihatannya, ia tersenyum tipis menyadari putrinya tak sendirian.

Ayah mengangkat tangan kanannya, kemudian mengelus lembut kepala seorang gadis yang setia menunggu semalaman dengan tidur terduduk berbantalkan tangan kiri putrinya.

Merasa sedikit terganggu, gadis itu akhirnya membuka kedua mata. Rautnya yang terkejut membuat Ayah tak kuasa menahan senyum, dan menyapa nya. "Selamat pagi, Callista."

Callista mengucek kedua matanya, lalu ikut menampilkan senyum. "Selamat pagi, om Je." balasnya dengan suara serak.

Merasa kalau mereka membutuhkan privasi, Callista berdiri dari duduknya seraya meminta izin untuk keluar ruangan. "Callista keluar dulu ya, om?"

Alih-alih menyetujui, Ayah justru menggeleng dan menyuruh Callista agar tetap tinggal. "Disini saja," kata beliau.

Callista menurut tanpa mengucapkan apapun.

"Saya berterimakasih sama kamu karena sudah menjaga dan menyayangi Gabriel selama saya pergi." ujar Ayah sambil menatap kedua mata Callista.

Mendengar itu, Callista menggeleng kukuh. "Nggak perlu berterimakasih, om. Callista senang bisa disisi Gabriel, Callista juga minta maaf om. Callista sering buat Gabriel sakit." Seketika Callista teringat dengan apa yang terjadi belakangan ini.

"Kamu pasti punya alasan buat itu semua, saya mengerti Callista." Ayah tersenyum teduh, kemudian menatap putrinya yang masih menutup kedua matanya.

"Gabriel, Ayah bersyukur kamu dikelilingi oleh orang-orang yang baik disekitar kamu. Kamu anak Ayah yang paling hebat, dulu kamu makan dengan teratur, kamu bahkan jarang menangis dan tidak pernah sakit..." Ayah menunduk ketika airmatanya berhasil lolos.

"Setiap kali Ayah pulang, kamu selalu berlari kencang dan menyerang Ayah dengan pelukan dan ciuman hangat kamu..." Ayah menyeka airmatanya dan sekuat tenaga menampilkan senyum.

"Ayah minta maaf, Ayah merasa bersalah sama kamu. Maafkan Ayah yang terlambat, maafkan Ayah yang meninggalkan kamu, maafkan Ayah yang sangat egois sampai tidak memikirkan kamu. Ayah benar-benar minta maaf..."

Pundaknya bergetar dengan hebat, pipinya kian basah karena airmata yang membanjiri. Berapa kali pun beliau menyekanya, airmata itu akan muncul kembali dengan lebih deras hingga meninggalkan rasa sesak di dadanya.

Ayah mengambil mendekat pada Gabriel, mengelus pipinya dan mengecup dahi putrinya cukup lama. "Gabriel, terimakasih... Terimakasih telah hidup menjadi putri Ayah."

Callista memalingkan wajahnya, sejak tadi ia berusaha sekuat tenaga untuk tak menangis. Namun pada akhirnya ia tetap gagal. Dia merasa begitu buruk telah menyakiti Gabriel, ia merasa sangat bersalah.

Bahkan disaat hati Gabriel dibuatnya hancur, Gabriel masih mau untuk menerimanya lagi. Gadis itu tetap tersenyum padanya dan memberinya tatapan hangat. Callista benar-benar merasa buruk.

You're PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang