17. Pengungkapan Menyakitkan.

450 60 7
                                    

Dalam sebuah Kamar yang temaram, seorang gadis kecil menggeliat menyamankan diri pada rengkuhan sang Ibu. Sebuah rengkuhan hangat yang mendatangkan rasa kantuk detik itu juga.

Kamu nggak mau apapun?” Beliau bertanya lirih sambil terus mengusap kepala putrinya.

Gadis dalam dekapannya semakin merapatkan diri pada sang Ibu, “enggak.”

Yakin nggak mau apapun?” Beliau bertanya kembali.

Enggak, Bundaaa.

Yang di panggil Bunda sedikit menjauhkan diri, ingin melihat wajah putri tunggalnya. “Kamu kenapa hari ini, Gabriel? Nempel banget sama Bunda?”

Gabriel kecil itu terlihat kesal, “Bun, emang salah ya kalo anak perempuan mau dipeluk Bundanya selalu?”

Tentu tidak sayang, yaudah-yaudah sini peluk Bunda.”

Eum!”

Merasa tak puas bertanya, sang Ibu kembali bersuara. “Kamu beneran nggak mau apapun? Ngga ada siasat tersembunyi kan?”

Bundaa.” jengah Gabriel.

Iya-iya, Bunda minta maaf.

Dalam sekejap, kamar itu mendadak menjadi hening, hanya deru nafas ibu dan anak itu yang terdengar disana.

Sekian lama dalam kesunyian, sang Ibu berpikir jika putrinya telah terlelap. Tapi ternyata salah, sedetik kemudian putrinya kembali bersuara.

Bun, boleh aku beli coklat lagi?”

Bunda lantas tergelak hingga memperlihatkan gigi gingsulnya mendengar celetukan itu, “tuhkan!”

Ting-tong!

Gabriel duduk dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, ia membuka lebar sebelah matanya guna melirik jam yang terpasang di dinding kamarnya.

Gadis itu diam merenung di atas kasurnya, ia lagi-lagi memimpikan memorinya dengan Bunda. Tak tanggung-tanggung, rasa rindu seketika memenuhi dirinya kembali. Ia memeluk dirinya sendiri, merasakan kalau mimpi itu benar-benar terasa sangat nyata. Hingga meninggalkan jejak hangat pada tubuh Gabriel.

Ting-tong!

Gadis itu berdecak sesaat setelah bel rumahnya terdengar kembali, ia sangat benci jika diganggu saat sedang tidur. Dengan langkah gontai ia berjalan keluar kamarnya.

Sampai di Ruang tengah, Gabriel menarik nafas dalam-dalam. Netranya melirik pada seragam sekolah yang masih terpasang rapi dibadannya, lalu mengedikan bahu sambil membuka pintu utama rumahnya.

Klek!

“Kakak?”

“Hai, aku bawa sesuatu nih!” ujar Derby sambil menunjukkan tote bag yang ia tenteng.

“Masuk dulu.” pinta Gabriel sembari memberi celah agar lelaki itu dapat masuk.

Mereka duduk di sofa sambil memakan coklat yang dibawakan oleh Derby. Ternyata lelaki itu tidak berubah, ia selalu tahu apa yang Gabriel sedang inginkan.

“Kamu tinggal disini sendirian?” tanya Derby memecah kesunyian.

“Iya.”

“Kamu nggak sama pembantu?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Lebih enak sendiri.”

Derby menganggukkan kepalanya, sedetik kemudian ia berdiri. Berjalan ke belakang menuju sebuah foto yang sengaja Gabriel gantungkan di dinding.

Lelaki menarik ujung bibirnya melihat guratan senyum Gabriel kecil, pipinya yang membulat dan giginya yang ompong terlihat sangat menggemaskan. Kemudian ia beralih menatap seorang wanita yang menggendong Gabriel di punggungnya.

You're PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang