Berat rasanya saat Callista harus melangkahkan kaki keluar rumah. Sungguh, ia sangat tidak bersemangat untuk sekedar berinteraksi dengan warga Sekolah. Ia ingin di rumah saja, menemani Gabriel yang sedang sakit.
Namun, yang bisa ia lakukan sekarang hanya diam sambil menatap kaca mobil yang menampilkan keadaan luar. Beberapa tetes air terlihat jauh menetes melewati kaca hitam itu.
“Tenang, Kak. Geby pasti baik-baik aja sama Mamah.”
Callista merasakan Raisha menggenggam jemarinya dengan hangat sambil sesekali mengelusnya. Callista menoleh, menatap Raisha dengan senyum sendu, rasa gundah dalam hatinya sedikit berkurang berkat gadis jangkung itu.
Callista tahu betul kalau Raisha juga mencemaskan Gabriel, itu semua terlihat dari raut wajahnya yang ia coba tutupi.
Diam-diam hati Papah menghangat melihat interaksi kedua putrinya yang mencoba saling menguatkan. Mereka memang sering adu mulut setiap saat mereka bertemu. Tapi dalam diri mereka, mereka saling menyayangi satu sama lain.
Kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti ketika sampai di depan Sekolah. Callista menghembuskan nafas kasar, lalu beranjak menuruni mobil. Ia berjalan selangkah kedepan dan menyalimi Papahnya.
“Jangan manyun gitu dong mukanya, kamu kalo manyun jadi makin cantik.” tutur Papah.
“Aneh, lo kalo nangis jadi makin cantik.” Tanpa disuruh, ucapan Gabriel saat itu lewat begitu saja dalam benaknya.
Callista perlahan menarik senyumnya, walau dengan terpaksa. “Iya, Papah.” Gadis itu kemudian berjalan memasuki Sekolah, diikuti dengan Raisha yang setia membuntuti dibelakang.
“Gue masuk kelas duluan, lo kalo ada perlu apa-apa langsung chat gue.” ujar Raisha saat mereka lebih dulu sampai di depan kelasnya.
Raisha menarik nafas dalam-dalam saat Callista mencuri pandang ke dalam kelas, Kakaknya pasti melihat kearah bangku Gabriel yang kosong.
“Kak..” panggil Raisha sambil memegang pundak Callista.
Callista mengerjapkan matanya. Ia melihat Raisha tersenyum padanya, mau tak mau ia ikut mengulum bibir. “Gue ke kelas.” pamitnya.
Gadis itu kemudian berjalan seorang diri melewati koridor Sekolah. Ia memasang senyum hambar. Bahkan ramainya koridor tak dapat mengalahkan sunyi hatinya. Pikirannya selalu tertuju pada Gabriel.
Biarlah kalian menganggapnya lebay, alay, dan sebagainya. Callista hanya terlalu cemas, ia takut Gabriel akan kenapa-napa. Ia selalu menyadari kalau gadis itu sering meremat perutnya dengan sangat kuat. Ia sadar, namun tak berani bertanya.
Callista hanya menunggu, gadis itu menjelaskan dengan sendirinya. Tanpa harus ia desak.
Ditambah dengan Gabriel yang sering mengatakan kalau ia akan menghilang. Hal itu membuatnya semakin ketakutan, ia takut kalau apa yang Gabriel ucapkan akan benar-benar terjadi.
“Hey, kamu nggak pa-pa?”
Kepala yang sejak tadi ia tundukkan kini mendongak, hanya untuk mendapati seorang laki-laki menatap dirinya dengan tatapan khawatir.
Callista menatap Derby lurus dengan tatapan sendunya, “aku baik-baik aja.” balasnya lemah.
“Kamu serius? Kamu keliatan nggak baik-baik aja, Callista.” Tapi sepertinya, jawaban itu tak memuaskan bagi Derby. Laki-laki itu lantas mengangkat tangannya dan meletakkannya di dahi Callista.
Dengan cepat Callista memundurkan badannya. “aku nggak pa-pa, boleh minggir? Kamu ngalangin jalan.” katanya sedikit ketus, lalu menerobos masuk ke dalam Kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Precious
Romansa"Aku selalu rindu kamu, dan sepertinya tidak akan pernah berhenti." -Callista A ________________________ "Tuhan sudah menggariskan takdir kita, Cal." -Gabriela A