What do you want?
To see an empire fall?***
Enggan berbicara.
Enggan bersitatap.
Itulah awal kehancuran dari sebuah dinasti.
Rumah tangga Bian dan Aswari semakin renggang dari hari ke hari sebab minim komunikasi. Nir empati menjadi puncaknya. Ledakan pertama dari bom masalah yang terus ditumpuk hingga menggunung itu memicu lahirnya bintik kebencian di hati mereka. Pertengkaran sengit tidak bisa dihindari lagi. Garis mula yang menjadi awal Bian menganggap istrinya jelmaan penyihir membentang menutupi seluruh perasaannya. Mengaburkan cinta dan menjelaskan antipati.
"Kamu serius nggak mau makan bareng aku lagi?" Bian putus asa. Sudah sepuluh hari mereka saling mendiamkan. Bian ditendang keluar dari kamar tidurnya sendiri dan menjalani hari-hari penuh nestapa.
"Aku nggak nafsu makan, Bi. Bukan berarti nggak mau makan bareng kamu. Ngerti?"
"Aswari come on, kamu pikir aku sebodoh itu? Kamu ngehindari aku. Aku tau itu."
"Prasangka kamu aja."
"Kalau gitu lihat mata aku, bilang itu cuma prasangkaku yang nggak berdasar dan kita baik-baik aja, lihat aku, War?" Bian setengah memohon.
Aswari membuang muka.
"See? Kamu nggak mau lihat aku. Prasangka? War, kita nggak baik-baik aja."
Fakta. Mereka berdua jauh dari kata baik-baik saja. Memendam perasaan adalah sumber penyakit yang dapat membunuh secara perlahan. Aswari memendam rasa sakitnya, dan Bian terlalu buta untuk membaca isi hati Aswari. Keduanya tersesat di jalan masing-masing.
Senyum sinis merekah di sudut bibir Aswari. Bayangan akan semua hal yang terus membuatnya kecewa hilir mudik di benaknya. Bian bajingan. "Emangnya kapan kita pernah baik-baik aja? Sedari dulu hubungan kita begini, Bi."
Bian akui apa yang dikatakan Aswari benar. Tapi kali ini hubungan mereka 100 kali lebih parah dan membusuk lebih cepat.
"Bi, kita orang sibuk, ngapain sih ngeributin hal yang nggak berguna begini? Sarapan tinggal makan, apa susahnya? Jangan membesarkan masalah, Bi. Nyebelin tau nggak sih." Aswari meraih tasnya. Pagi ini dia sudah bersiap berangkat kerja, namun sang suami menahan langkahnya dengan perdebatan sarapan bersama. Gila ya?
Bian terduduk dengan raut wajah terperangah. Istrinya sudah gila? Dia dianggap menyebalkan karena mengajak makan bersama? Sungguh? Lalu Aswari yang mengusirnya dari kamar utama bukan tindakan yang menyebalkan? Bukankah itu lebih keterlaluan?
"Fine. Aku bisa makan sendiri. Aku bisa tidur sendiri. Aku bisa berangkat kerja sendiri. Aku bisa hidup sendiri. Jadi kamu urus diri kamu sendiri." Bian membanting sendok ke permukaan meja. Dentingnya saat bertemu dengan gelas dan piring bergema ngeri di telinga.
Aswari sejenak memejamkan mata. Merutuk dalam hati.
"Dasar egois," maki Aswari pelan. Keluar dari mulutnya tanpa direncana.
Bian yang sedang mengenakan kembali jasnya ke badan berbalik marah. Melihat nanar manik gelap Aswari yang kini memandangnya berapi-api.
"Egois? Siapa? Aku atau kamu?" cecarnya meminta penjelasan atas sindiran yang menghinanya.
Aswari mendelik tajam. Suaminya berdiri tepat di depannya memaksanya untuk berkata-kata kembali.
"Kamu yang egois."
"Kalau aku egois? Lalu kamu apa? Sadis?" Bian meradang.
Dalam hati Aswari ingin sekali menjerit. Ditahannya raut wajah yang hendak menangis, dipasangnya paras penjahat berhati bengis. Bian tidak boleh tahu hatinya lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]
Romance"Kalau sama kamu sakit, tapi kalau nggak sama kamu jauh lebih sakit lagi." Bian Sastrowardoyo-putra bungsu dari keluarga konglomerat Sastrowardoyo-menikah dengan Aswarina Priambudi dua tahun lalu. Aswari adalah perempuan tegas dan mandiri dengan har...