06. Don't Bark if You Can't Bite

24.2K 1.5K 13
                                    

Bian berada di atap gedung perusahaannya bersama Evan dan Sinar. Mereka sedang menikmati sebatang rokok di sela jari masing-masing selepas meeting dengan sponsor.

Bian bukan perokok berat. Bukan juga manusia suci yang sama sekali tidak menyentuh lintingan tembakau itu. Bian hanya melakukannya di saat ia ingin saja.

Aswari pernah marah-marah saat mendapati Bian merokok. Bisa dibilang perempuan itu amat sangat marah. Aswari memarahi Bian panjang lebar mengenai efek buruk bagi kesehatannya jika Bian tetap keras kepala merokok. Bian dikuliahi tentang penyakit paru-paru, jantung, ginjal, dan teman-temannya karena satu batang rokok. Tapi sekarang sudah tidak masalah, karena perempuan itu kini menjadi perokok juga berkatnya. Bian kadang merasa bersalah telah menjerumuskan Aswari untuk satu hal ini. Meski awalnya hanya menawari sebatang dengan niat ingin membantu istrinya meringankan stress akibat tuntutan pekerjaan. Namun yang ada, Aswari jadi kecanduan dan Bian yang kini giliran menasehati perempuan itu apa saja bahaya merokok.

Bian jadi teringat istrinya. Ngomong-ngomong penyihir itu sedang apa ya sekarang?

"Akhir-akhir ini mood lo selalu bagus, muka lo juga keliatan seger, aura lo positif. Ada hal menyenangkan apa?" Evan bertanya dengan bahasa non-formal. Bian mengijinkannya untuk bersikap santai saat mereka break dari pekerjaan.

Bian tersenyum sebagai jawaban. Jarang-jarang manusia seperti Bian tersenyum. Evan pikir ia baru saja menyaksikan kejadian langka.

"Yang Mulia Bian tersenyum. Apa besok matahari terbit dari selatan?" Evan terheran. Masalahnya ini bukan senyum yang sekedar senyum profesional kepada rekan bisnis, ini real Bian tersenyum karena kehendaknya sendiri. Wow!

"Nggak ada apa-apa, Van. Nggak usah berlebihan." Bian menghembuskan kepulan asap dari mulutnya.

"Pasti ada apa-apa." Evan tidak percaya.

"Bukannya udah jelas, Van," ucap Sinar. Laki-laki pertengahan tiga puluh tahunan itu menunjuk leher Bian. "Lo liat aja bekas cipok di leher bos lo. Simpel."

Evan menurut memperhatikan leher Bian. Gurat kemerahan seperti habis digigit vampir tercetak di sana. Apa lagi kalau bukan kiss mark?

"Aswari udah bertingkah jadi istri lo lagi?" Evan bertanya frontal. Paham sekarang alasan Bian mood-nya bagus begitu.

"Iri gue, istri gue kok nggak pernah ngasih gue bekas cupang ya?" Sinar mencuri momen untuk bercurah hati.

"Makanya diajarin caranya." Bian yang menjawab. Kekehan lolos dari bibir pria itu.

"Loh? Nggak autodidak ya?" Sinar bertanya keheranan pada Bian yang jauh lebih muda darinya.

"Kalo udah bisa ya nggak perlu. Kalo belum bisa ya diajarin." Bian mengerling tengil. Ya ya ya, yang mantan playboy pastilah paham.

"Asik nih, gue ada pelajaran baru buat istri gue nanti malem," ucap Sinar.

"Haha, jangan lupa sambil praktek biar cepet pro. Teori doang hambar."

"Siap, Bos!"

Evan mengerutkan dahi kesal sembari mendengarkan percakapan dua orang di depannya. "Anjing lo berdua. Udah tau gue belum punya istri malah terang-terangan ngebahas ini di depan gue. Supaya apa?"

"Supaya iri lah! Pake nanya lo!" Sinar terbahak melihat wajah kesal Evan.

Evan menggerutu tidak jelas. Bukan salahnya ia belum menikah. Calon istrinya saja yang terlalu jual mahal saat diajaknya ke pelaminan. Komedi sekali memang percintaan di dunia tipu-tipu ini.

"Lo sih gara-garanya!" Evan menyalahkan Bian.

"Loh kok jadi gue? Nggak suka nih gue seneng?"

"Nggak sih, mending gini. Lo yang kurang belaian nyeremin." Evan berlari menjauh sebelum ditampol Bian.

THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang