Istirahat makan siang baru berjalan lima menit. Pintu ruang kerja milik Bian diketuk. Wajah Evan menyembul dari balik pintu.
"Mau ikut makan siang bareng tim kreatif?" tanya Evan begitu mendapati Bian memberikan atensinya.
"Makan siang di mana?" Bian balik bertanya sambil menutup berkas laporan dari divisi sales dan marketing yang membuat kepalanya pusing.
"Di Ranum. Anak-anak udah reservasi," jawab Evan membalas atasannya.
"Oke, gue ikut."
"Sip."
Evan ini merupakan sekretaris utama Bian. Mereka teman kuliah dan kenal baik sejak kecil. Bahkan Kusuma Sastrowardoyo sendiri yang merekomendasikan Evan menjadi sekretaris Bian dan menjadi tangan kanannya.
Untuk urusan kemampuan, tidak perlu ditanyakan lagi. Evan amat mumpuni. Selama tiga tahun bekerja dengannya Bian menemui banyak kemudahan berkat laki-laki itu. Evan cerdas, ulet, cekatan, sangat detail, dan bisa mengambil sikap kapanpun saat dibutuhkan. Bian menyukai cara kerjanya. Ditambah Evan itu bisa menjaga rahasia dengan amat sangat baik meski itu hal kotor sekalipun.
"Devi, saya sama Evan ikut makan siang dengan tim kreatif, sekalian mau membahas program acara baru Citra TV. Kalau Anggun tanya mengenai revisi proposal. Bilang ke dia nggak usah direvisi, bikin saja yang baru. Saya nggak butuh ide sampah yang pasaran. Sampaikan ke dia." Bian memberikan pesan kepada sekretaris keduanya sebelum pergi.
"Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan kepada Bu Anggun," ucap Devi sopan. "Selamat menikmati makan siang." Tidak lupa ia tersenyum.
"Kalo Pak Susilo ngerepotin lo lagi langsung lapor gue ya, Dev?" pinta Evan sebelum benar-benar pergi.
"Siap." Devi tersenyum sambil memberi hormat. Evan sudah seperti kakak kandungnya saja. Kalau ada manajer divisi lain yang mengganggunya, laki-laki itu siap sedia menolong. Karena di kantor ini Devi itu bisa dibilang wakil dari Evan. Evan perlu menjaganya agar pekerjaan mereka tidak berantakan. Karena bagi Evan di tempat kerja yang paling utama adalah menjalankan pekerjaan dengan baik. Mengingat pimpinan mereka, Bian Sastrowardoyo amat benci orang yang tidak kompeten.
Perjalanan ke Ranum hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit. Bian keluar dari mobil setelah Evan selesai memarkir.
Anak-anak dari tim kreatif melambaikan tangan memberitahu letak tempat duduk mereka. Bian berjalan bersisian dengan Evan. Belum sempat duduk, perempuan dengan jas berwarna merah tua yang sempat dilihatnya tadi pagi di rumah duduk dengan tiga laki-laki dan satu perempuan di meja sebelah.
Fuck, it's her.
Aswari mendapati Bian berada di tempat yang sama dengannya. Mata mereka bertemu tiga detik sebelum Aswari memalingkan muka.
Fuck, it's him.
Bian duduk dengan santainya sambil menyapa anak-anak dari tim kreatif. Evan yang tahu siapa perempuan berjas merah tua yang duduk di meja sebelah berdehem canggung. Bisa-bisanya suami istri bertemu dan malah berpura-pura tidak saling kenal. Evan menelan ludah, pernikahan Bian dan Aswari rupanya sudah sampai pada tahap mengabaikan satu sama lain tanpa ragu sedikitpun.
"I saw a video of you playing soccer with your son. You're not a businessman but a professional football player right?" Terdengar suara Aswari berbicara dengan bule di depannya. Suara tawanya yang elegan terdengar sampai telinga Bian.
"Don't flatter me," balas laki-laki berkebangsaan Singapura itu. Yang merupakan investor yang ditemui Aswari pagi ini. "But when i was young, my dream was to become football player. You know, like Lionel Messi."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]
Romansa"Kalau sama kamu sakit, tapi kalau nggak sama kamu jauh lebih sakit lagi." Bian Sastrowardoyo-putra bungsu dari keluarga konglomerat Sastrowardoyo-menikah dengan Aswarina Priambudi dua tahun lalu. Aswari adalah perempuan tegas dan mandiri dengan har...