26. Psycho by Birth, Bastard by Choice

14.9K 1.2K 61
                                    

Warning!
Dalam chapter ini akan ada banyak penggunaan bahasa kasar. Pembaca diharap bijak.

***

"Fuck! Fuck! Fuck! Fucking asshole! Fucking prick! Fucking bastard! Dickhead! Slapper! Cocksucker! Fucking moron! Son of fucking bitch! Holy fucking shit!"

"Men, that's brutal." Evan melihat ngeri Bian di sampingnya yang memaki sambil memukul pembatas atap gedung.

Dilihatnya Bian meraih bungkus rokoknya kembali dari saku celana. Memantik batang rokok untuk kesekian kalinya sambil terus mengumpat. Evan merasa gelisah tiap kali bosnya bertingkah seperti harimau gila seperti ini.

"I'm fucked up." Bian menghembuskan asap dari mulutnya. Pandangannya kacau. Ia kacau luar dalam.

Evan menepuk pundak Bian prihatin. Memberi semangat bosnya. Dari cerita yang Evan dengar dari suami Aswarina Priambudi itu, terhitung tiga hari sudah istrinya tidak mau bicara padanya lagi. Evan tahu behind story milik Bian, jadi meski bosnya itu brengsek, pria itu punya alasan.

"Lo udah jelasin ke Aswari dengan benar?" Evan bertanya sambil masih menepuk-nepuk pundak Bian.

Pertanyaan itu dijawab dengan gelengan kepala. Bian sama sekali tidak punya kesempatan untuk menjelaskan kepada Aswari. Perempuan itu tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Penyihir itu selalu mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan tidak mau bicara dengannya.

Selama ini Bian tidak tahu kalau Aswari menyaksikan sendiri kejadian satu tahun lalu. Pantas saja istrinya meminta pisah ranjang dan mereka bertengkar setiap hari.

"Van, gue harus gimana?" Bian gusar. Berhari-hari hatinya tidak tenang. Aswari kini terang-terangan mengisolasinya. Aswari bahkan tidak sudi berada di satu ruangan yang sama dengannya. Bian dalam masalah besar.

"Kayaknya lo mending jujur ke Aswari deh, Aswari nggak akan maafin lo kalau terus begini." Evan menyesap batang rokok yang terselip di antara jemarinya. Masalah Bian membuat kepalanya turut pening. Resiko mengetahui seluruh urusan atasannya, mau tidak mau ikut merasakan pusingnya juga.

"Van, Aswari mau ngomong lagi sama gue aja udah syukur. Gue nggak berharap untuk dimaafin. Karena sebrengsek itu gue ke Aswari." Bian sadar diri. Dirinya tidak layak untuk dimaafkan apapun alasannya.

"Terus Cantika Maharani mau lo apain?"

"Nggak tau."

Evan memijit pelipisnya. Dia frustasi sekali. Bian sendiri tidak kalah frustasi.

"Dari sini ke bawah kira-kira bisa bikin orang meninggal nggak kalo jatuh?" Bian melongok ke bawah. Melihat jalan raya di bawah sana dari atap gedung kantornya.

"Studio siaran Citra TV di lantai tujuh aja udah bisa bikin orang mati di tempat kalo jatuh, Bian. Kalo dari sini nggak perlu gue kasih tau kan? Otomatis tinggal nama." Evan menarik Bian menjauh dari pagar. Orang kalau lagi stres akal sehatnya kemana-mana.

"Kayaknya gue mending terjun aja, Van."

"Yang ada Aswari bakal ngebunuh lo dua kali kalo lo milih terjun. Jangan bikin dia tambah marah karena mendadak ngasih dia gelar baru sebagai janda." Evan menarik belakang kerah Bian untuk mundur. "Lo mending balik ke kantor, kerja. Itu lebih baik dari pada lo di sini mikir yang enggak-enggak." Evan menggiring Bian masuk kembali ke dalam gedung. Membuang sisa-sisa puntung rokok ke dalam tempat sampah sebelum pergi.

"Gue takut pulang ke rumah, Van."

"Pulang ke pangkuan Tuhan lebih nakutin, Bian. Get yourself together." Evan mengantar Bian kembali ke ruang kerjanya sembari menyuruhnya mengendalikan diri.

THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang