02. Fallin'

312 25 13
                                    

"Bercanda."

Aena terkena tekanan batin mendengar ucapan Cobra ketika mereka sampai di rumah. Dia mendengus; melayangkan tatapan penuh kebencian untuk pemuda yang sekarang sedang menyimpan bahan makanan di kulkas. Untung saja Cobra tidak benar-benar membeli cincin karena ditahan olehnya. Duh, dia menyesal karena menjadikan Cobra sebagai pacar bohongannya. Dia hanya takut sang pemuda menganggapnya serius. Heh, pemikiran macam apa itu? Dia terlalu percaya diri.

Aena duduk di sofa, lalu memijat pelipisnya. "Cobra, sebenarnya kenapa kau ingin aku menjadi istrimu? Jadi pacar saja sudah cukup. Kenapa kau repot-repot mau menampungku di rumahmu? Sudah kubilang, 'kan, kalau konsensusku menyandang layanan membuatkanmu makanan tiap jam makan, mencuci pakaianmu, bahkan aku bisa mengantarmu ke mana-mana. Kenapa harus istri? Kau ingin membuat Yamato dan yang lain salah paham?" ujarnya bertubi-tubi.

"Salahnya di mana? Ingat poin awalmu; simbiosis mutualisme." Cobra mendelik, lalu melemparkan sekaleng minuman soda pada Aena yang dengan sigap ditangkap. "Lagi pula, hanya satu bulan. Kuulangi, satu bulan. Satu. Bulan. Paham?"

"Apa, sih? Satu bulan itu lama. Aku sudah memperhitungkannya. Kau yang paling diuntungkan di situasi ini. Aku hanya memintamu menjadi pacarku selama satu hari. Kuulangi, satu hari. Satu. Hari," katanya bersungut-sungut. "Dan kau memintaku menjadi istrimu selama satu bulan. Kuulangi, satu bulan, Cobra. Satu bulan! Yang benar saja? Rugi, dong!" Aena mendengus.

Cobra mengangkat bahu malas. Menanggapi ucapan istrinya membuat telinganya panas. Dia memilih menyalakan televisi, duduk di sebelah Aena, dan mulai menikmati acara yang dipertontonkan. Dia melirik pelan Aena melalui ekor mata. Sedari kecil, dia dan Aena sudah berteman. Namun, pertemanan mereka dibumbui dengan banyaknya pertengkaran. Yah, mirip-mirip dengan Yamato-Naomi. Dia semasa kanak-kanak memang bisa dibilang bokem—bocil kematian—yang selalu mengganggu Aena. Kalau diingat-ingat, Yamato dan Noboru-lah yang selalu melerai mereka.

Ketika dia bergabung dengan Mugen pun, Aena menceramahinya tanpa henti. Namun, ujung-ujungnya gadis itu malah dianggap adik oleh Kohaku dan Tatsuya. Aena yang memang anak tunggal merasa diuntungkan dalam situasi itu. Dia sering datang ke tempat perkumpulan anggota dan memerhatikan kegiatan yang dilakukan. Ketika Itokan Diner diresmikan, Aena juga hadir dengan antusiasme yang tak terhitung jumlahnya.

"Heh, jangan melamun."

Cobra menatap Aena yang kini berdiri sambil memainkan kunci mobil di tangannya. "Kau mau ke mana?" tanya Cobra.

"Aku ini orang sibuk. Tentu saja aku punya kasus yang harus ditangani. Nah, sampai jumpa. Jangan lupa pikirkan kembali kesepakatan kita."

"Tidak mau."

Aena menghela napas, tetap melanjutkan langkahnya. Mobil Nissan Versa-nya ketika dinyalakan sudah benar; tidak merajuk apa-apa lagi. Aena berseru dalam hati, lalu bergegas menuju kantor polisi. Dia bertemu dengan rekan sejawatnya—Saigo. Menyapa, dia melambaikan tangan kanannya.

"Kau sudah datang. Kasus pembunuhan di apartemen distrik Oya sudah diserahkan kepada detektif magang dan ahli forensik. Maaf sudah mengganggumu," ujar Saigo.

Aena mencibir, lalu meraih kopi panas yang Saigo berikan. "Detektif magang? Aku tidak mendengar kabar itu," balas Aena.

"Dia titipan Komisaris Kepolisian." Saigo terkekeh. "Berhubung tidak ada kerjaan, kau sebaiknya ikut denganku, Aena."

"Ke mana?"

***

"Aku melihat Aena masuk ke dalam rumahmu semalam. Ada apa?"

"Kau lupa? Aku dan dia sudah menikah."

Yamato, Naomi, Dan, Tetsu, Chiharu, dan anggota Sannoh yang sedang berkumpul di Itokan Diner spontan menganga mendengar penuturan Cobra. Mereka tahu Aena memang membutuhkan pacar, tetapi mereka tidak ekspek Cobra akan mengatakan mereka sudah menikah. Bagaimana bisa? Memangnya mereka saling mencintai? Bukankah Cobra dan Aena masih sering memperdebatkan hal-hal yang tidak diperlukan? Memikirkan hal ini membuat mereka bingung.

𝗗𝗔𝗠𝗡𝗔𝗧𝗜𝗢𝗡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang