Jembatan gantung yang menjadi penghubung antar distrik ini menjadi spektator di mana Aena sibuk menunggu seseorang datang. Karena udaranya cukup dingin, dia melapisi turtleneck merahnya dengan blazer hitam. Iris gelapnya memandang pada orang-orang berlalu. Suasana hatinya tidak bagus, tetapi urusan yang dia lakoni harus membuatnya selalu terlihat profesional.
Aena bersandar bosan pada pagar yang membatasi antara daerah atas dan bawah. Tinggi jembatan ini tidak terlalu mencolok. Dia sendiri bisa melompat ke bawah; dengan risiko kaki dan tangan patah. Itu juga kalau kepalanya tidak jatuh duluan. Kalau kepala jatuh pertama, habislah dirinya. Dipikir-pikir, dia jadi ingin menerjunkan diri ke bawah. Walaupun hadiah yang didapat mungkinlah neraka. Lagi pula, sudah sebanyak apa kebaikan yang dia perbuat sampai mengharapkan surga?
Kepala Aena menoleh dengan impulsif pada langit gulita. Tidak ada bintang di sana, bahkan bulan pun enggan menunjukkan bahwa presensinya tengah dihalau oleh mega. Bulan bukan malu-malu, tapi bulan mungkin tidak mau menyinari malam ini karena seorang perempuan sinting, dirinya, masih berada di luar. Jadilah malam ini lebih gelap dari biasanya. Lampu jalan pun tampak kehilangan cahaya. Orang yang mengurus harus menggantinya dengan bohlam berkualitas tinggi. Dia menyarankan.
"Yo, Aena."
Gadis ini menggambar senyum tipis tatkala menangkap konfigurasi seorang pria berkepala empat yang berjalan mendekat sambil merokok. Aena mengangkat satu tangan; mengisyaratkan sang pria berdiri di sebelahnya. Labium pasinya memudarkan senyum.
"Hisashiburi, Saigo-san. Karena masalah berdatangan, aku jarang menemimu untuk sekadar menikmati kopi bersama." Aena membuka ruang pembicaraan dengan basa-basi. "Bahkan kita jarang menyelesaikan kasus bersama karena permasalahan yang SWORD hadapi. Bukankah itu menjengkelkan?" ujarnya sambil menggelengkan kepala; keheranan dengan situasi sekarang.
Pria itu, Saigo, terkekeh pelan. "Semua yang berhubungan dengan Kuryu memang menyebalkan. Bagaimana denganmu? Kau sudah mencoba memeriksakan penyakitmu pada dokter? Siapa tahu karena melihat penyakitmu, orang-orang akan tergerak hatinya untuk memanufaktur pembuatan obat," balas Saigo.
"Aku tidak berencana hidup setelah masalah ini selesai." Aena menadah satu tangan pada Saigo; meminta sebatang rokok dari sang pria yang merupakan teman mendiang ayahnya.
"Kau memperburuk resistansi tubuhmu, Bocah."
"Hitung-hitung menikmati hidup," gumamnya seraya menyalakan rokok dengan pemantik yang diberikan Saigo. "Hidupku benar-benar payah, lebih payah dari anggota parlemen yang merelakan hidupnya demi uang." Gadis ini tertawa gila.
Saigo mengernyitkan dahi. Ucapan Aena terkesan meracau. Apakah gadis ini mabuk? Wah, pantas saja. Dia mencium bau minuman alkohol berjenis tequila yang sepatut-patutnya Aena dapatkan dari bar tua di Sannoh, Bar Odake. Gadis ini jika dibiarkan sendirian tanpa diawasi bisa saja mengacau. Dasar.
Aena menyemburkan asap rokoknya ke udara. "Kenapa orang takut mati, ya?" lirihnya. "Oh, itu karena mereka belum mengimani ajaran agamanya dengan benar. Aku juga kurang beriman, tapi aku berani untuk mati. Mati! Mati! Mati!" Seruannya membuat orang-orang menoleh dengan heran.
"Kau mabuk berat, Aena," komentar Saigo.
"Iie! Aku hanya mengekspresikan perasaanku yang selama ini dipendam." Aena tergelak kembali. Dia menepuk bahu Saigo dengan kedua matanya yang tertutup.
Saigo menatap Aena dengan sendu. Kondisi Aena terlihat begitu kacau. Tubuhnya pun berdiri dengan ekuilibrium goyah; kalau tidak menahan di pagar, Aena bisa jatuh ke bawah jembatan. Dipikir-pikir, Aena tampaknya sudah kehilangan semangat bagai istilah mati-tak-siap-hidup-tak-sanggup. Namun, Aena siap mati, sebagaimana yang dikatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗗𝗔𝗠𝗡𝗔𝗧𝗜𝗢𝗡
FanfictionAena hanya seorang detektif di sebuah instansi kepolisian, tetapi entah mengapa dia terlibat konflik bersama Kuryu Group yang berusaha menguasai SWORD. Selain itu, Aena juga dihadapkan pada pernikahan pura-puranya dengan pemimpin Sannoh Rengokai, Co...