11. Pity Aena

170 24 8
                                    

Aena memindah-mindahkan saluran televisi dengan penasaran. Setiap berita yang ada membahas masalah kasino. Kini tabiat busuk pemerintah dan Kuryu sudah menyebar di publik. Kohaku dan yang lain berhasil mempublikasikan isi flashdisk. Dia turut senang mendengarnya. Apalagi Kuze Ryushin sudah ditangkap. Harap-harap, setelah ini semuanya akan membaik.

Suasana di kediaman Hino terasa senyap; hanya suara televisi yang terdengar. Cobra tengah bersiap untuk pergi ke tempatnya Rocky—menemui sang pionirnya White Rascals. Merasa acara sudah membosankan, Aena mematikan televisi. Perempuan itu menghampiri Cobra yang baru saja turun dari lantai dua. Aena tersenyum; menyapanya dengan ramah.

"Pergi sekarang?" tanya Aena.

Cobra mengangguk. "Kau juga akan pergi bekerja? Bukankah kau masih demam?" Atensinya tertuju pada Aena yang tengah berdiri dengan senyuman.

"Aku masih demam, tapi sepertinya aku bisa memaksakan diri. Selama aku tidak berlebihan, aku akan baik-baik saja," balasnya.

"Jangan memforsir dirimu sendiri, Aena. Dokter mengatakan resistansi tubuhmu sudah berkurang." Taruna menghela napas, lantas menyingkirkan helaian rambut yang menyabotase jarak pandang Aena. "Aku tidak mau kehilanganmu," lirihnya.

"Tidak ada yang akan meninggalkan satu sama lain." Aena tersenyum.

Cobra mengelus pipi Aena. "Hanya berjaga."

"Kita pasti baik-baik saja. Syal merahmu melindungi kita."

"Inoki-san senang kau menjaganya." Cobra tersenyum, lantas menangkup kedua pipi Aena dengan gemas. "Kalau Inoki-san senang, aku juga senang."

Aena terkekeh. "Aku jauh lebih senang. Kalau begitu, hati-hati di jalan, Cobra. Malam nanti, aku akan membuatkanmu makanan yang enak. Dipikir-pikir, aku tidak menjalankan konsensusku dengan baik selama menjadi istrimu. Aku bahkan tidak ada di rumah dalam waktu yang lama." Aena merapikan jaket yang Cobra kenakan.

"Kau melakukan yang terbaik. Jangan lupa untuk menepati janjimu untuk makan malam bersama. Aku menunggu masakan enak buatanmu," ujar Cobra dengan santai.

Aena tersenyum, lantas mengangguk. "Laksanakan, Kapten."

***

Hujan tanpa disangka turun dengan keracak. Suasana yang cukup dingin membuat Aena terserang demam, lagi. Dia bergeming di kursi kerjanya sambil memikirkan sesuatu. Rocky dan White Rascals dalam bahaya. Ranmaru tidak bisa dihentikan. Kalau dia datang ke landasan Doubt, dia hanya akan mendapat ofensif. Itu bukan impresi yang bagus.

Aena mengusap hidungnya. Cobra benar. Resistansi tubuhnya menurun belakangan ini. Entah apa yang terjadi. Dia sesekali pernah batuk—bukan batuk yang bisa diabaikan. Batuknya mengeluarkan darah. Dia mengira ini imbas karena dia kelelahan—mengingat beberapa bulan ke belakang dia menangani banyak kasus pembunuhan. Namun, batuk berdarah ini membuatnya termangu. Pikirannya mengarah pada hal negatif.

Grace datang sambil tersenyum yang entah mengapa mengundang kesal pada hati Aena. Sang adiratna bersedekap; mengintimidasi Aena yang termangu dengan ekspresi datar. Tanpa berpikir juga, dia tahu Aena sedang membendung amarahnya. Gadis itu masih sama—tak berubah. Spontan saja pojok bibir merah mudanya ini terangkat dengan perlahan.

"Ohayou, Aena-san." Grace menyapa.

"Pagi," balas Aena tanpa intensi.

𝗗𝗔𝗠𝗡𝗔𝗧𝗜𝗢𝗡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang