"Senang mendengar putramu akan menikah, Zenshin Yoshitatsu." Aena menyimpan buket bunga yang dia beli di nisan ayah-ibunya. Dia masih berusaha untuk tenang; berkonversasi tanpa melibatkan amarah.
Figur pria dengan rambut dipoles minyak itu tampak mengisap rokoknya. Pawana di sekitar area pemakaman lumayan lantam. Baskara yang baru terbit dipayungi oleh payoda; indikasi hujan deras dapat dipastikan seratus persen aktualitasnya. Zenshin Yoshitatsu berdiri dengan angkuh tatkala konfigurasi seorang adiratna tertangkap oleh mata.
Aena bersedekap dada, lantas mengatupkan kedua tangan untuk berdoa. Seusainya, dia menegapkan raga dengan perlahan. Irisnya terfokus pada nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya. Dengan tegas, daksanya berotasi menghadap kepada figur Zenshin yang masih belum berintensi mengatakan apa-apa.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Mimik yang semula tenang, kini disubstitusi oleh raut membengis. Jemari kedua tangannya pun sudah terkepal erat untuk mengantisipasi ofensif sekonyong-konyong dari Zenshin yang kini dijaga oleh centeng-centengnya.
"Aku hanya mengunjungi orang tuamu. Apakah itu salah?" tanya Zenshin seraya mengernyitkan dahinya.
Aena merotasikan bola mata dengan sinis. "Salah besar. Kau tidak pantas datang ke sini sekalipun hanya untuk berlalu," katanya dengan ketus.
Gelak mengejek diudarakan Zenshin. "Kau memang tegar tengkuk, Aena. Hidupmu tidak akan celaka jika sedari dulu kau menyerahkan semua benda yang kuinginkan padaku. Kau bahkan bisa dipromosikan di Institusi Kepolisian andaikata kau menurut." Zenshin mengembuskan asap rokok dengan santai.
"Aku tidak berminat dipromosikan. Toh, aku akan segera mengundurkan diri."
Itu absah. Dia memang berniat mengundurkan diri dari profesinya sebagai detektif. Belakangan ini, dia absen dari pekerjaannya karena banyak masalah. Dia mengakui sepenuh hati jika dirinya tidak bertanggung jawab terhadap darmanya. Grace yang seharusnya mendapat ilmu karena bekerja di naungan departemennya pun diabaikan. Dia merasa bersalah atas ini.
Aena mendelik sinis. "Kau tahu, aku memiliki mentalitas korban. Aku masih belum lupa hari di mana kau membunuh orang tuaku. Aku korban, kau pelaku. Aku tidak peduli sekalipun aku harus masuk neraka karena membunuhmu. Aku juga tidak peduli sekalipun kau masuk surga karena bertobat dari semua perbuatan burukmu," ujarnya sambil bersedekap.
"Kau tidak akan pernah kumaafkan."
Zenshin mengernyih dengan alis menukik. "Terkadang manusia tidak pernah berkaca. Kau menyalahkan orang lain karena derita yang menimpamu, tapi kau tidak pernah mau menyalahkan dirimu sendiri ketika kau juga salah satu penyebabnya. Apakah selama mereka hidup, kau sudah membuat mereka bahagia?" sahut Zenshin dengan tegas.
"Pelaku pembunuhan sepertimu tidak pantas membicarakannya." Aena bersedekap.
"Aku memang pelaku, aku mengakuinya. Namun, kau juga pelaku. Kau membunuh dengan lisan. Kau bukan orang baik."
Aena mendengus. "Sekalipun aku korban, aku tidak pernah mengaku sebagai orang baik," katanya.
"Kau tidak bisa membunuhku. Sebelum kau menyentuhku, ada ratusan centengku yang siap membunuhmu, Aena." Zenshin terkekeh sinis.
"Itu bagus. Aku bisa mulai dari centengmu, lalu berpindah ke putramu, dan terakhir padamu," ujar Aena sembari mengantongi kedua tangan di saku mantelnya.
Zenshin menatap iris jelaga Aena, lantas menyeringai.
***
Aena menyuapkan omurice buatan Naomi dengan lahap. Karena demam, animonya untuk makan makanan enak diurungkan. Makanya, seusai pulih dia langsung makan di Itokan Diner, lantas memesan makanan yang sedari dulu selalu menjadi menu unggulannya. Omurice buatan Naomi atau mendiang Tatsuya sama-sama enak di lidahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗗𝗔𝗠𝗡𝗔𝗧𝗜𝗢𝗡
FanfictionAena hanya seorang detektif di sebuah instansi kepolisian, tetapi entah mengapa dia terlibat konflik bersama Kuryu Group yang berusaha menguasai SWORD. Selain itu, Aena juga dihadapkan pada pernikahan pura-puranya dengan pemimpin Sannoh Rengokai, Co...