20. Discomfort

101 15 4
                                    

"Otsukaresama." Aena menatap anggota timnya yang berhasil menjebloskan pelaku pembunuhan yang kasusnya tidak dapat ditangani olehnya sebab dia menjalani masa percobaan.

"Bu, kau tidak apa-apa?" tanya seorang pemuda.

Aena mengangguk. "Tentu saja. Kalian tahu di mana Hideo-san? Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya," ujar Aena. Dia menatap satu per satu anggota timnya.

"Pak Komisaris ada di ruangannya."

"Bagaimana rasanya mengambil uang orang lain tanpa berbuat apa yang diperintahkan?" Aena bersandar dengan santai di pintu ruangan Hideo. Pria itu mendengus; menatap tidak minat akan presensinya.

Hideo menyimpan berkas-berkas yang sedang diurusnya. "Kau tidak diperkenankan datang ke kantor selama masa percobaan. Kau ingin masa percobaanmu ditambah?" balas Hideo seraya mengalihkan pandangannya kepada Aena yang tersenyum.

"Lagi pula, aku bukan datang sebagai detektif. Aku datang untuk membahas kesalahanmu sebagai Komisaris Kepolisian," terang Aena.

"Aku tak paham dengan apa yang kau bicarakan."

"Itu artinya kau bodoh, Pak." Aena bersedekap, kemudian berjalan menghampiri meja Hideo sambil menenteng sebuah flashdisk.

Hideo menyeringai. "Apa-apaan?"

"Di dalam flashdisk ini terdapat bukti transaksimu dengan si tua yang dipenjara itu. Apa yang terjadi jika aku menyebarkannya di media sosial? Apakah kau akan lengser dari jabatanmu? Apakah kau akan dipenjara?" ujar Aena. Dia tersenyum lebar.

"Aku tidak takut. Sebarkanlah. Tidak ada yang akan percaya. Aku bisa membuatnya seolah aku dituduh tanpa dasar." Hideo menatap Aena dengan senyum pongahnya.

"Keputusan yang bagus, Pak."

Aena keluar dari ruangan Hideo, lalu menelepon Saigo. "Sudah kudapatkan buktinya. Kita bisa menyebarkannya sekarang. Aku akan menemuimu di Toarushi," ucap Aena.

"Toarushi? Yang benar saja! Terlalu jauh, Aena." Saigo terdengar mengeluh.

"Aku mencari suasana baru. Datang saja. Kukirim lokasinya."

***

"Kau babak belur. Berkelahi dengan siapa?" Saigo mengarahkan satu pertanyaan kepada Aena yang baru datang di restoran Korea di Toarushi.

Aena mendengus. "Tukang pukulnya Hideo. Astaga, untung saja flashdisk-nya berhasil diselamatkan. Lagi pula, Hideo itu apalah dia apalah. Usianya hampir enam puluh, tapi dia belum berintensi tobat," keluh Aena sambil mengembuskan napasnya jenuh.

"Isi dulu perutmu. Nanti kita obati lukanya," ujar Saigo.

"Aku sudah makan bakpao, sih. Gratis pula. Tapi, apa salahnya kembali makan? Saigo-san yang bayar, 'kan?" Aena tersenyum.

Saigo spontan mengerutkan kening. Namun, melihat Aena yang terlihat antusias, dia menyetujui. Keduanya mulai menyantap hidangan jajangmyeon dengan tenang. Aena meneguk segelas kecil berisi soju—sekalipun dia memperingatkan untuk tidak minum. Sayangnya Aena bebal, susah diatur, bahkan agak sulit mengendalikan emosi. Satu-dua dengan ayahnya. Tidak heran.

Aena menyerahkan sebuah flashdisk di meja. "Astaga, soju-nya mantap sehingga aku tidak bisa berhenti minum. Jadi, tugas ini Saigo-san yang selesaikan. Aku akan pulang," racau Aena.

"Oi, kau akan dihukum sebab berkendara di bawah pengaruh alkohol." Saigo menghela napas.

"Baiklah, baiklah."

Saigo mulai menyiapkan laptopnya dan melihat isi dari flashdisk pemberian Zenshin. Isinya hanya terdapat video Hideo sedang menerima suap berupa uang dari Zenshin agar membunuh Aena. Tidak hanya itu, Zenshin rupanya dimanipulasi Hideo dengan memberitahu pemimpin Zenshin Group itu jika keluarga Shio menyimpan arsip mengenai kebusukan Kuryu. Itu yang menjadi alasan mengapa Zenshin tahu Akeno mempunyai arsipnya.

𝗗𝗔𝗠𝗡𝗔𝗧𝗜𝗢𝗡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang